Senin pagi di pertengahan bulan Januari, aku harus memaksa diriku untuk beranjak dari mimpi-mimpi indahku untuk kembali ke rutinitasku – kuliah di salah satu perguruan tinggi di pinggiran Ibu Kota. Senin ini aku memulai semester 4 ku dengan jadwal yang cukup lenggang, yah aku mengambil lebih sedikit mata kuliah di banding semester-semester sebelumnya.
Dan aku harus memulai semester baru ini dengan keadaan yang cukup berbeda pula dari semester-semester sebelumnya. Keadaan yang harus mulai aku biasakan mulai saat ini. Hari-hari tanpa Bastian, tandanya tidak ada lagi sapaan setiap pagi atau ucapan selamat malam sebelum aku terlelap. Tidak ada lagi semangat-semangat yang selalu Bastian alirkan di setiap pagi sebelum aku memulai berkegiatan. Tidak ada lagi yang selalu marah jika aku menunda waktu makanku.
Hari demi hari berlalu, aku menyadari kalau aku memang belum terbiasa tanpa Bastian. Pertengahan februari aku memutuskan untuk meminta Bastian kembali, tapi Bastian menolaknya mentah-mentah dengan alasan kalau dia takut jika dia kembali bersamaku, skripsi yang sedang dia jalankan akan terganggu. Yang aku tau, selama dia menjalankan skripsinya, aku berusaha mengerti, mensupport, membiarkannya untuk memiliki banyak waktu untuk dicurahkan ke skripsinya, tapi ternyata yang aku lakukan malah dianggap sebagai batu sandungan untuk kemajuan skripsinya.
Aku sedih, kecewa dan sakit mendengar jawaban Bastian atas permintaanku. Tetapi aku masih berusaha untuk tetap baik dan membantunya, memberi semangat untuk Bastian dalam mengerjakan skripsinya. “Chyn, mau kan nganter aku bimbingan?” – ya Bastian memang sering meminta aku untuk menemaninya untuk menemui dosen pembimbingnya. Bahkan tidak jarang aku yang menawarkan diri untuk menemaninya.
Saat awal-awal masa pacaran aku dengan Bastian, aku pernah memimpikan Ibu – panggilan untuk Ibunya Bastian. Aku memang belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan ibunya Bastian karena Ibu sudah berada di surga hampir setahun sebelum Bastian bersamaku. Ibu datang ke mimpiku malam itu, dalam mimpiku, ibu menyuruh aku untuk tidur di pangkuannya dan beliau mengelus lembut rambutku, ibu saat itu memberikan senyum yang indah dan sangat tulus untuk aku, orang yang sama sekali belum pernah Ibu kenal.
Semenjak mimpi itu, aku berfikir bahwa Ibu menitipkan Bastian kepadaku. Aku harus selalu mendampingi Bastian, menjadi sandaran saat Bastian lelah, menjadi teman yang selalu siap untuk mendengar keluhan Bastian dan menerima setiap luapan emosi bastian, aku harus ada disamping Bastian sampai dia bisa mencapai kesuksesannya. Tetapi, tidak selalu berjalan mulus usaha ku untuk mendampingi Bastian. Bastian terlalu susah untuk aku mengerti, entah karena ego nya yang terlalu tinggi atau aku yang terlalu kekanak-kanakan untuk bisa mengertinya. Tak jarang aku menyerah, tapi tak lama kemudian aku kembali untuk mendampinginya dalam menjalani skripsinya. Ya, aku menemaninya tanpa ada status yang lebih dari sekedar pertemanan.
Sampai akhirnya di akhir-akhir batas waktu pengerjaan skripsinya, Bastian berubah menjadi pribadi yang semakin tidak aku mengerti. Ego nya yang semakin tinggi, tak jarang Bastian menyalahkan aku di setiap kejadian yang sebenarnya dia sendiri yang hancurkan. Dan yang lebih parah, Bastian jadi sering merendahkan aku hanya karena rasa cemburunya. Sikapnya yang ini yang membuat aku benar-benar menyerah. Aku lelah Tuhan, aku lelah Bu, aku lelah Bas.
Hari demi hari berlalu masih dengan keadaan yang sama, masih dengan sikap Bastian yang sama. Sampai akhirnya dia bisa menyelesaikan skripsinya dan hari yang dia nanti datang, hari sidangnya. Tadinya aku mau memberi sesuatu untuk Bastian, hanya saja setelah aku mempersiapkan hadiah itu, Bastian melarangku untuk memberinya apapun, bahkan Bastian meminta aku untuk tidak menampakkan diri lagi dihadapannya. Sakit, kecewa dan merasa sia-sia atas apa yang telah aku siapkan untuknya. Bastian menjalani sidang dengan lancar dan lulus sidang dengan hasil cukup memuaskan. Selamat atas gelas Sarjana Hukumnya semoga bisa kamu pergunakan dengan baik di kedepannya. Aku bangga kamu sudah bisa mencapai awal kesuksesan kamu, Bas.
Ibu, aku tau Ibu menitipkan Bastian kepada Chyntia, Chyntia selalu coba menjadi yang terbaik untuk Bastian. Chyntia selalu coba mendampingi Bastian dikeadaan terendahnya sekalipun. Tapi, Ibu pasti sering melihat air mata Chyntia jatuh karena Bastian kan Bu? Air mata yang selalu Chyntia sembunyikan dari orang banyak, bahkan Bastian sekalipun. Bu, Chyntia minta maaf, Chyntia terlalu sakit untuk tetap ada di kehidupan Bastian. Hati wanita mana yang mampu terus bertahan saat terus-terusan disakiti, disalahkan dan direndahkan. Bu, Chyntia hanya bisa menemani Bastian sampai sini, sampai dia mencapai gelar sarjananya. Bastian pasti membuat Ibu bangga di surga sana kan? Aku juga bangga sangat teramat dengan Bastian. Sekarang aku mundur dari hidup Bastian bu, maaf kalau aku masih tidak bisa memberi yang terbaik untuk Bastian selama ini. Tapi Ibu tidak perlu khawatir, Bastian sudah berjanji sama Chyntia bahwa Bastian akan lebih selektif lagi mencari wanita untuk menjadi pendampingnya, wanita yang pastinya akan jauh lebih baik dari Chyntia dan lebih bisa Bastian hormati sebagai wanita. Terimakasih Ibu udah percaya bahwa Chyntia mampu mendampingi Bastian. Sekarang saatnya Chyntia mundur Bu untuk kehidupan Bastian yang lebih baik, untuk kehidupan Chyntia yang lebih baik. Bahagia di surga sana ya Bu, Chyntia sayang dan akan selalu sayang Ibu. Sejauh apapun nanti Chyntia dengan Bastian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar