Selasa, 28 Mei 2013

happiness?


Pagi ini aku meninggalkan kota kelahiranku dengan membawa semua luka yang ada selama aku berada di kota ini. Aku duduk sendiri di bangku kereta untuk menuju daerah istimewa yogyakarta. Perjalananku kali ini bukan untuk mengunjungi eyang kakung dan eyang putri disana. Bahkan aku tidak ada rencana sama sekali untuk mengunjungi mereka. Aku hanya ingin melupakan semua kesakitan yang aku rasa. Aku ingin mencari kenyamanan yang telah lama menghilang dari hidupku. Aku ingin menemukan kehangatan keluarga dan hangatnya dekapan yang diciptakan oleh sebuah cinta.

Aku menapaki stasiun Tugu pada sore hari. Sore yang indah dengan langit yang menampakan kecantikan senjanya sedikit demi sedikit. Awal yang indah, mendamaikan. Tapi apakah mungkin aku bisa merasakan kedamaian yang lainnya selama aku berada disini? Entahlah, biar takdir yang menentukan semuanya, bahkan takdir pula yang membawa aku  ke tempat sejauh ini. Tempat yang selalu aku harapkan membawa kedamaian. Ya… setidaknya membuatku melupakan semua kesakitan yang ada.

Sebentar menikmati senja dengan latar peron-peron dan gerbong kereta api aku langsung bergegas menuju salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari stasiun terbesar kota ini untuk beristirahat sebentar.

Malam ini, malam pertama aku berada di kota ini. Kota yang penuh akan keramaian yang tidak pernah meninggalkan cirri khas keramahannya. Aku menapakkan kakiku di kilometer 0 yogyakarta yang terletak di daerah perbelanjaan Malioboro dan tidak jauh dari alun-alun kota Yogyakarta. Aku duduk sendiri memperhatikan setiap aktifitas perkumpulan komunitas-komunitas yang ada di kota ini. Mereka tertawa, menjalankan hobby nya dengan tawa. Ya… mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan aku? Aku masih harus terjebak dalam kegiatan yang tidak pernah aku sukai, tetapi bukan berarti aku melakukannya tanpa senyum. Aku selalu mengulum seutas senyum dalam melakukan semua kegiatanku selama ini. Kegiatan yang sudah 2 tahun lebih aku jalani. Bahkan aku selalu mengulum seutas senyum kepada semua orang yang aku temui walau keadaan hatiku tidak dalam keadaan yang membuatku nyaman. Ya, walau hanya seutas senyum palsu setidaknya mereka percaya bahwa hidupku baik-baik saja, hari-hariku menyenangkan, kisah percintaanku selalu membahagiakan bahkan keadaan keluargaku yang sangat hangat. Ya… mereka percaya akan seutas senyum itu. Senyum yang selalu menggores luka dihati.

Andai saja aku bisa bebas… bebas dari semua masalah yang ada… keluargaku mulai menampakann kehancurannya sejak sekitar 7 tahun yang lalu. Keluarga ini tidak lagi menampakkan kehangatan. Bahkan aku tidak pernah lagi betah untuk berlama-lama di rumah jika anggota keluargaku sedang berkumpul. Aku muak melihat kepura-puraan dianatara kedua orang tuaku. Berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja namun selalu ada amarah dan air mata di dalamanya. Aku terkadang ingin lari jauh… sejauh-jauhnya dari keluargaku, meninggalkan semua kepalsuan yang ada, meninggalkan luka yang semakin lama semakin dalam. Terkadang aku berfikir, tidakkah sebaiknya mereka berpisah agar tidak ada lagi kepalsuan yang menyakitkan ini? Aku sakit, hatiku tergores dalam…

Tuhan… aku tau, manusia memang tidak pernah bisa meminta bagaimana dia terlahir, dengan cara apa dia tumbuh dan dikeluarga seperti apa dia hidup. Tapi mengapa engkau tidak memberikanku keluarga yang penuh dengan kehangatan? Bukan keluarga yang selalu penuh akan kepalsuan itu Tuhan. Mengapa aku tidak bisa tertawa bahagia seperti anak-anak yang ada di komunitas itu? Mengapa aku harus mengalami kehidupan seberat ini Tuhan…. Aku ingin tertawa bahagia disetiap langkahku. Setidaknya aku tidak ingin selalu memberikan senyum palsu ke semua orang yang aku temui.

Tiba-tiba lamunanku tersadarkan akan suara bising yang berasal dari pemain gamelan yang berada tidak jauh di sebrang tempat aku duduk saat ini. Inilah yang aku suka dari malioboro. Ramai, penuh seni… hangat… sumpah demi apapun, aku sangat mencintai kota ini Tuhan…

Pagi ini aku tidak memiliki banyak semangat untuk menjelajahi kota ini. Entah… aku biasanya seperti memiliki suntikan semangat yang tinggi untuk menjelajahi sudut-sudut kota ini setiap aku menapakkan kaki ku di Yogyakarta. Setelah sarapan aku hanya berenang sebentar di kolam renang yang memang disediakan di hotel yang lumayan besar ini, lalu aku kembali kekamar untuk beristirahat kembali. Tidak. Aku tidak beristirahat, aku hanya ingin menghilang dari keramaian pagi ini. Aku merindukannya, merindukan dia yang telah menghancurkan hatiku untuk kesekian kalinya. Orang yang membuat aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan semua kenangan indah dan juga menyakitkan disana.

Aku menjalin hubungan dengannya beberapa bulan sebelum kami memasuki tahun ke dua. Jadi wajar saja jika aku masih memiliki cinta yang begitu besar terhadapnya, lelaki itu yang membuat hidupku sedikit berwarna selama ini, lelaki itu yang membuatku melupakan setiap masalahku sejenak, walau dia tidak pernah memberikan aku waktu untuk menceritakan setiap masalah yang aku hadapi, tapi setidaknya dia sesekali menjadi alasanku untuk tersenyum… senyum yang tulus. Tetapi itu dulu, sebelum akhirnya dia menghancurkan hatiku berkali-kali sampai akhirnya aku benar-benar menyerah dan memilih menyingkir ke kota ini saat ini.

Tuhan memberi kita luka pasti Tuhan juga akan memberikan penawar luka itu. Tuhan memberikan aku keluarga yang jauh dari kehangatan, tapi Tuhan memberikan dia ke hidupku untuk menawarkan kehangatan yang tidak aku miliki. Tuhan memang adil, ya, terkadang… sampai akhirnya aku kembali merasa bahwa Tuhan merenggut kebahagiaan kecil yang ku miliki dan menggantinya dengan setumpuk luka yang mendalam. Kehancuran yang tidak henti-hentinya. Aku membenamkan wajahku di bantal dan mulai kembali menangisi keadaanku yang teramat malang. Tidak, harusnya aku tidak menyalahkan Tuhan akan semua yang terjadi. Bukankan Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk setiap umatnya? Aku segera menghapus air mata yang masih tersisa di pipiku. Hey, bukankah aku jauh sampai kota ini untuk melupakan semua kesakitan yang aku rasa? Bukankah harusnya aku bersenang-senang di kota ini?

Waktu memasuki jam makan siang, aku segera bergegas ke salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di kota ini, tempat ini adalah salah satu cabang dari tempat makan sederhana yang hanya menjajakan sop ayam dengan berbagai sate dan gorengan, tetapi begitu nikmat. Siang ini aku tidak makan sendirian, aku makan ditemani oleh sepasang kakek-nenek pemulung yang aku temui saat perjalanan menuju tempat ini. Wajah mereka mendamaikan, entahlah terlihat penuh cinta dan kasih.

Selesai menyantap makan siang aku mengunjungi rumah kakek-nenek ini, rumah yang sederhana, bahkan begitu sempit bagi mereka berdua tetapi terasa penuh kehangatan, tidak seperti rumahku yang cukup besar tapi tidak ada kehangatan didalamnya. Aku medapatkan kehangatan di kota ini melalui mereka. Mereka memperlakukan aku seperti cucunya sendiri. Anak-anak kakek dan nenek meninggalkan kakek dan nenek berdua di kota ini dengan alasan ingin mencari pekerjaan, tetapi mereka tidak pernah kembali untuk mengunjungi kakek dan nenek disini. Dalam hati aku mengutuki anak-anak duharka itu. Bagaimana bisa kehangatan yang merekah di antara kakek dan nenek mereka tinggalkan untuk kehidupan yang belum tentu terdapat kehangatan di dalamnya.

Hari sudah semakin malam, aku berpamitan untuk pulang kepada kakek dan nenek. Aku janji aku akan datang kembali ke rumah ini. Aku tidak langsung pulang ke hotel, aku masih ingin menikmati keindahan malam di kota ini. Aku mendatangi salah satu kafe yang buka 24 jam, tetapi tiba-tiba ketenangan itu hilang. Ada lelaki yang sangat mengesalkan yang berebut tempat denganku. Bukankan masih banyak tempat kosong di kafe ini? Mengapa dia harus meributkan tempat yang aku pilih. Tempat yang tepat berada di bawah pohon dengan dihiasi lampu redup berwarna oranye. Aku mengutuki lelaki yang merusak mood ku ini dalam hati. Lalu aku langsung bergegas meninggalkan kafe itu tanpa sepatah katapun untuk kembali ke hotel.

Siang ini aku sengaja menyewa mobil untuk mengantarku mengunjungi salah satu pantai di Gunung Kidul. Pantai yang sangat aku sukai dibanding pantai-pantai lain di deretannya. Pantai yang belum banyak terjamah oleh manusia. Bahkan untuk sampai kesana tidak ada palang penunjuk arahnya. Jalanannya hanya setapak yang memuat satu mobil. Pantai dengan pasir putih yang masih sangat bersih, batu karang yang mengaggumkan dengan berbagai binatang laut dibaliknya – Sadranan. Tetapi satu yang tidak aku sukai dari tempat ini, terlalu banyak anjing liar yang berkeliaran disini. Aku maju menapaki karang-karang yang tersusun kokoh disini menampakan keindahannya. Sampai akhirnya telingaku mendengar suara lelaki yang entah apakan ucapannya di tujukan kepadaku atau kepada orang lain yang berada disini, tetapi setauku tadi hanya ada aku sendiri disini. Diam-diam aku mendengarkan setiap perkataannya tanpa menoleh sedikitpun. Perkataan yang sangat menusuk di hati. Bagaimana dia tau kalau aku terdampar jauh ke kota ini untuk menghindari setiap masalahku. Atau… tidak-tidak mungkin dia memang bukan bicara kepadaku. Sampai akhirnya aku tau kata-kata itu memang dia tujukan kepada aku saat dia tepat berdiri disampingku.

Tuhan tidak mungkin, mengapa engkau mempertemukanku dengan lelaki menyebalkan ini? Lelaki yang semalam meributkan tempatku di kafe itu… Tuhan aku tidak ingin merusak sore indahku di tempat favoritku ini. Tetapi mengapa ada ketengangan ketika lelaki ini berada di sampingku, seperti ada jaminan rasa aman yang dia tawarkan, padahal aku baru dua kali bertemu dengan lelaki menyebalkan dan sok au ini. Tuhan, inikah maksud dari janjimu bahwa kau akan selalu memberikan yang terbaik nantinya. Lelaki ini kah yang Engkau kirim untukku? Untuk melindungiku? Aaah pikiran apa sih ini. Tidak mungkin, aku masih sangat mencintai lelaki yang telah menghancurkanku.

Sepanjang perjalanan pulang ke hotel pikiranku bertengkar dengan hatiku. Bagaimana bisa hatiku merasa nyaman dengan lelaki yang menyebalkan dan sok tau seperti dia. Pikiranku tidak bisa menerima itu, ini terlalu bodoh. Hatiku terlalu bodoh kalau ternyata terbukti benar bahwa hatiku telah jatuh ke lelaki lain. Bukankan hatiku masih milik lelaki yang tega menghancurkannya itu? Bukankah hatiku masih terluka terlalu dalam? Tuhan… mengapa hatiku berdetak begitu aneh setiap membahas tentang lelaki menyebalkan dan sok tau itu…

Pagi ini aku pergi ke kafe 24 jam yang tempo lalu aku tinggalkan begitu saja karena lelaki menjengkelkan yang meributkan tempat dudukku itu. Kali ini aku berhasil duduk di tempat yang tempo lalu aku tempati. Tenang tanpa lelaki itu… tapi tidak lama kemudian, ada lelaki yang menghampiri dan meminta ijin untuk duduk bersamaku di tempat ini. Tuhan…. Mengapa harus lelaki ini lagi? Lelaki menyebalkan ini Tuhan? Apa tidak ada lagi lelaki yang lebih mengasyikan selain dia Tuhan?
Hari demi hari berlalu, herannya aku semakin dekat dengan lelaki yang sempat aku kutuki dalam hati itu. Lelaki menyebalkan yang sangat aku benci. Tapi logikaku tidak bisa mengelak lagi, hatiku memang mulai jatuh kepada lelaki ini. Aku mendatangi setiap sudut kota ini bersamanya. Bahkan lelaki menyebalkan ini yang membawa aku ke sanggar ini, sanggar tari tradisional. Tuhan, ini hobby ku… ini tujuan hidupku yang sebenarnya. Menari… melepas semua beban. Inikah jalan yang kau beri untukku, Tuhan?

Setiap hari aku datang ke sanggar ini untuk melepas bebanku, ya, menari adalah salah satu kebahagiaanku. Aku bercita-cita untuk menjadi penari tradisional professional yang bisa keliling dunia membawa tarian-tarian Indonesia dan nantinya bisa membuat sanggar sendiri. Tetapi, tidak ada yang mengerti akan cita-citaku. Tidak juga kedua orang tuaku. Tetapi lelaki menyebalkan ini sangat mendukung cita-citaku ini. Dia mengerti. Dia memberi kehangatan yang aku cari di kota ini.

2 bulan aku berada di kota ini sampai akhirnya aku memutuskan untuk menetap di kota ini dan meninggalkan segala aktifitas yang menyiksaku selama ini dan juga meninggalkan kepalsuan yang ada. Tentu saja aku juga sudah melupakan kesakitan yang aku rasa karena lelaki yang tega menghancurkanku berkali-kali.

Memang benar, terkadang kita harus meninggalkan segala kekhawatiran dan mulai menikmati apa yang ada saat ini agar hidup lebih bahagia. Untuk apa aku selalu mengingat setiap kesakitan dan kebencian yang ada, hanya akan membuat aku terjebak dengan luka. Sudah saatnya aku memaafkan, bukankan untuk memaafkan harus ada yang direlakan? Dan aku merelakan kesakitan yg aku rasa dan mulai berdamai dengan keadaa. Sekarang aku percaya, Tuhan memang membiarkan kita terluka untuk mendapatkan yang lebih baik. Setiap perpisahan pasti akan menghadirkan pertemuan. Bukankah dalam hidup kita harus belajar merelakan agar kita bisa melangkah maju?

Kehadiran seseorang di hidup kita pasti memiliki arti. Dia untuk menguatkanku dengan segala kesakitan yang diberikannya dahulu, dan kamu untuk menjadi alasan bagi setiap senyumanku untuk semua kehangatan yang kamu beri saat ini. Tuhan mempertemukanku denganmu bukan tanpa alasan, Tuhan tau kebutuhanku… Kamu…

Sabtu, 25 Mei 2013

inilah cinta...


Saat pertama kali tatapan mata kita bertemu pada satu titik, aku tidak pernah mengira bahwa tatapan itu dapat membuatku jatuh mencintaimu terlalu dalam. Jatuh tersungkur terlalu jauh saat kau kecewakan. Bahkan tatapan itu pula yang membuatku berkali-kali memberikan maaf atas semua kesakitan yang kamu beri untukku.

Tatapan itu awalnya mendamaikan… sangat mendamaikan… begitu pula perlakuanmu kepadaku, damai seperti daun yang berubah warna memerah kecoklatan yang berguguran dimusim semi. Tetapi waktu mengubah semuanya. Tatapan itu tidak lagi mendamaikan, terlebih menyakitkan, seperti ujung mata pisau, semakin aku lama berada diujungnya, semakin dalam luka yang kamu berikan. Bagaimana tidak tatapan itu tidak menyakitkan, tatapan itu yang membuat aku selalu memaafkan setiap kesalahanmu yang berujung pada kesakitan-kesakitan lain yang aku terima.

Hidupku aku serahkan begitu saja kepadamu, begitu pula hatiku. Seperti menyerahkannya kepada seorang penipu ulung yang sedang ingin memangsa para korbannya. Bahagia di awal, dihempaskan di akhir. Tapi memang tatapan itu yang membuat aku terus bertahan, tatapan itu yang membuat aku menghiraukan rasa sakit yang aku rasa. Tatapan yang membuatku selalu menerimamu kembali ke hidupku. Tatapan itu pula yang membuat aku menutup mata akan kebahagiaan yang harusnya aku dapatkan, bukan kesakitan yang selama ini terjadi dan terjadi lagi berulang-ulang tanpa pernah lelah.

Lalu jika saat ini kamu meminta kembali dan perlahan-lahan aku menerima kamu untuk kembali tapi kamu kembali menyakitiku, hati dan juga bahkan fisikku. Siapa yang harus aku salahkan? Yaa… memang bukan kamu, bukan wanita-wanita itu dan bukan juga perbuatanmu. Tapi diriku sendiri, hatiku. Aku terlalu lemah untuk membelakangimu, mengabaikanmu. Aku terlalu lemah akan permintaan maafmu. Aku terlalu jatuh mencintaimu. Aku terlalu mempercayai perkataanmu saat meyakinkanku bahwa semua akan lebih baik jika kamu kembali. Aku menutup mataku bahwa selama ini selalu akan seperti itu. Membaik sebentar dan kamu hancurkan kemudian… hancur terlalu dalam... Mungkin sudah saatnya aku membuka mata. Semua tidak akan pernah bisa membaik. Kamu juga mungkin sudah seharusnya menyadari bahwa semua yang kamu anggap baik untuk kamu lakukan tidak selamanya baik untukku, tidak selamanya membahagiakanku.

Jangan kembali, kita memang punya satu tujuan, dahulu. Tapi sayang cara kita memang tidak lagi pernah sejalan. Tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang memang sudah tidak akan pernah bisa kembali sempurna. Ini hanya akan menyakiti kita, menyakiti aku, menyakiti kamu. Bukankah hidup harus selalu kita nikmati disetiap detailnya? Tapi apa yang bisa kita nikmati dari sebuah luka? Apa yang harus aku nikmati dari setiap luka, kekecewaan, kesakitan dan keegoisan? Bahagiakanlah diri kita, meski tidak harus bersama-sama lagi. Mimpiku masih sama seperti saat aku bersamamu. Tapi mungkin saat ini aku harus menggapainya sendiri, tanpamu. Tanpa luka…

inilah cinta... membahagiakan tetapi tak jarang menyakitkan... begitu menyakitkan...

Selasa, 14 Mei 2013

Cinta?

Hari ini tepat 15 bulan hubunganku dengan Doni -- lelaki yang sampai detik ini masih tetap aku cinta, masih tetap menjadi skala prioritasku walau kesalahannya membuatku membencinya, juga membenci hiduku. Hubungan kami 15 Bulan juga jika kami masih bersama-sama menjalin hubungan sebagai pasangan. Hubungan kami berakhir tepat 3 hari sebelum kami menginjak angka 15 bulan. Waktu yang tidak sebentar bagiku, karena baru kali ini aku bisa melangkah sejauh ini, selama ini, 15 Bulan -- ya ya ya, kurang 3 hari. Tapi jika di ingat-ingat hubungan kami memang tidak benar-benar terjalin 15 bulan, kami pernah beberapa kali putus dan sempat tidak berkomunikasi. Doni type orang yang memiliki pola fikir jika hubungan sudah berakhir maka sudah tidak harus menjaga hubungan lagi. Dan aku orang yang sangat bertolak belakang dengan cara berfikir Doni. Aku type orang yang jika hubungan ku berakhir dengan kekasih aku, aku tetap akan menjaga hubungan baik dengan mereka -- sebagai teman tentunya. Di khianati seseorang, di hancurkan, di abaikan, bukan alasan bagiku untuk memutuskan hubungan baik dengan mereka. Bagiku, walau hatiku disakiti, itu bukan alasan bagiku untuk memutuskan hubungan baik, toh bagaimanapun mereka pernah aku dambakan, pernah aku banggakan dan pernah memberikan hidupnya untukku. Dan sebagai makhluk sosial, untuk apa munafik, entah kapan, aku pasti membutuhkan mereka, dalam dunia kerja misalnya. Tapi, kali ini Doni beberapa kali melanggar peraturan yang Ia buat sendiri, beberapa kali dia menghubungiku, aku juga sesekali menghubunginya, ya memang tidak senyaman biasanya, sekarang sedikit agak kaku. Tapi aku memaklumi, kami toh bukan sepasang kekasih lagi.

Tapi ada perubahan yang sangat mencolok yang aku rasakan, aku sempat bertemu kembali dengannya -- bukan hanya bertemu, Doni mengajakku untuk nonton bioskop hari ini, tapi aku menawarkan diri untuk menemaninya bertemu dengan seorang dosen pembimbingnya di pusat kota. Dengan cara ini aku menunjukkan bahwa aku memang tidak pernah membiarkannya sendiri dalam menghadapi masa-masa tersulit kuliahnya -- skripsi. Walau sudah tidak ada hubungan kekasih aku diam-diam memberikan semangat untuknya dalam menjalani masa tersulit kuliahnya melalui gambar-gambar yang sengaja aku buat dengan kata-kata semangat untuknya -- jelas aku juga menshare nya di salah satu jejaring social, kali aja Doni melihatnya. Bahkan aku sempat membbm nya untuk memberikan kata-kata yang bisa membuatnya semangat. Tapi tidak dengannya, aku benar-benar Ia biarkan sendiri. Buktinya hari ini saat Doni menjemputku untuk pergi menemui dosen pembimbingnya, Doni sudah mulai membiarkan aku menyebrangi jalan sendiri, jauh berbeda saat kami masih bersama sebagai sepasang kekasih, Doni pasti langsung mengambil tempat di sisi kananku dan menggandeng tanganku bila menyebrangi jalan. Hari terasa bejalan begitu lama, bukan karena macetnya Jakarta hari ini, bukan juga karena aku menunggu sendiri di mobil saat Doni menemui dosennya. Tapi karena entahlah, hari ini terasa sepi, suasana yang tercipta begitu kaku, omonganku bahkan hanya dijawab seperlunya oleh Doni. Dan yang paling menyedihkannya lagi, aku sudah kalah dengan gadget bagi Doni. Aku sengaja seharian tidak mengeluarkan gadget apapun saat bersama Doni, walaupun sebosan apapun aku, sengantuk apapun aku. Yah, kami memang berbeda, sejak awal kami bersama bahkan. Kamu bisa membayangkan bagaimana rasanya di biarkan sendiri? Padahal selama ini kamu tidak pernah ditinggalkan. Kamu tau rasanya saat kamu selalu dijaga, tapi kali ini kamu dilepaskan? Kamu tau rasanya saat kamu dapat kenyamanan saat bersama orang yang kamu sayang tapi kali ini kamu hanya merasakan kekakuan? Kamu tau rasanya jika gadget sudah mengalahkan kamu di dalam dunia seseorang? Aku merasakannya! Aku bahkan tidak pernah lagi mendapat kata-kata manis di setiap pesan singkatmu. Aku juga sudah tidak pernah mendengar nada lembutmu saat berbicara langsung. Kamu berubah, keadaan berubah. Kita berubah.

Tapi entahlah, aku tidak pernah kehilangan rasa sayangku sedikitpun untuk Doni. Aku masih sering memberikannya semangat tapi tidak dengan Doni, Doni tidak menampakan perhatiannya saat aku benar-benar terjatuh dan membutuhkan semangat. Hubunganku dengan Doni tidak pernah membaik sampai detik ini. Doni sempat menghubungiku lagi kemarin, dia meminta maaf untuk kesalahannya yang membuat hubungan kami kandas. Doni bahkan sudah berjanji untuk tidak meladeni wanita yang menjadi masalah dihubungan kami. Tapi, Doni meminta aku untuk memutuskan hubungan dengan mantan-mantanku. Aku terdiam. Bukan tidak ingin, tapi aku harus memutuskan hubungan seperti apa? Toh aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan mantan-mantanku. Ya, aku sering tidak menanggapi pesan singkat mereka untuk Doni. Doni marah karna aku tidak menyanggupi permintaannya. Yah, aku kira dengan permintaan maafnya akan membuat hubungan kami lebih baik. Ternyata tidak. Entahlah mungkin memang aku harus segera membiasakan diri tanpanya. Bukan menghilangkan rasa sayang yang aku miliki, tapi, membiasakan diri tanpanya. Harusnya aku bisa, karena memang Doni membiarkan aku berjalan sendiri.

Satu yang perlu kamu tau Don, cinta Bella tidak akan memudar. Hanya saja, keadaan yang membiasakan Bella tanpa Doni dan Doni yang telah membiarkan dan melepaskan Bella sendiri sampai saat ini.  Cinta memang tidak perlu sepasang kekasih yang memiliki kesamaan, hanya saja cinta butuh sepasang kekasih yang mau menyatukan perbedaan dengan menekankan ego yang ada. Dan cinta itu suatu kebiasaan, bisa muncul karena dua orang yang sering bersama, dan bisa terkikis karena di biarkan sendiri.

Minggu, 12 Mei 2013

Cerita cinta Laudya

"Dy... Dy... Laudya bangun... Sudah pagi, kamu gak sekolah? Udah siang nih, nanti telat." Di ruangan yang cukup besar dengan cat kombinasi berwarna merah dan pink yang di antaranya duberikan aksen list wallpaper tokoh kartoon kesukaanku -- Winnie The Pooh inilah, Dya -- biasa aku dipanggil, rutin mendengar suara pria separuh baya yang selalu mencoba membangunkanku dari mimpi-mimpi indahku untuk kembali melihat dunia nyata, kembali ke rutinitasku -- sekolah. Aku saat ini duduk di bangku kelas 11 di salah satu SMA Negeri Favorite yang memiliki segudang prestasi dan keunggulan dalam bidang akademis dan non akademisnya yang berada di salah satu kota yang tidak begitu besar tapi sudah sedikit maju di antara kota-kota lainnya di Jawa Barat.

Hari ini adalah hari yang paling aku sukai karena salah satu pelajarannya adalah seni rupa. Aku memang tidak terlalu jago dalam pelajaran ini, tetapi aku merasa dapat bebas menuangkan apa saja yang aku ingin lewat karya-karya seni rupa yang aku ciptakan. "Dy, cepetan jalannya, bel udah bunyi tuh!" teriak Risti -- teman sekelasku yang berjalan tepat di depanku. Aku langsung memperbesar langkahku dan langsung menuju ruang kelasku -- kelas yang berukuran tidak terlalu besar, bercat berwana cream, dengan 2 white board di dinding bagian depan, di pojok depan terdapat meja dan bangku untuk guru, dan kelas ini memuat murid sebanyak 40 orang. Tidak lama setelah bel berbunyi, guru seni rupa dengan badan yang mungil dengan paras cantik dan sikapnya yang sangat lemah lembut memasuki kelas. "Hari ini ada teman baru untuk kalian." Jelas Bu Lupi setelah memberikan salam kepada murid-murid. Bu lupi pun langsung keluar memanggil seseorang yang akan menjadi teman baru kami. Suasana kelaspun menjadi gaduh, teman-temanku sibuk menerka-nerka siapa yang akan menjadi teman baru mereka. Wanitakah? Atau malah lelaki? Lalu seseorang anak laki-laki berjalan memasuki kelas yang secara tidak langsung menjadi jawaban atas rasa penasaran mereka dan juga aku sendiri.

"Ih dia mirip itu yang ade kelas itu" celetuk ku. Temanku menimpali "apa dy? Ganteng? Cieeeee." Kelaspun kembali menjadi gaduh. Disitulah awal mula aku dengan Setya -- ya, namanya Setya, dia anak pindahan dari Makassar yang entah mengapa memilih masuk ke sekolah kami, sedangkan orang tuanya menetap di Bandung dan dia harus tinggal di kota ini hanya dengan adik, anak buah ayahnya dan seorang pengurus rumahnya di sebuah rumah bergaya minimalis di salah satu perumahan elliete di pusat kota.

Hari demi hari berlalu, aku menaruh rasa acuh kepadanya. Sikapku ke Setya terlalu mudah dibaca oleh teman-temanku bahkan dengan Setyanya sendiri bahwa aku tidak terlalu menyukai anak baru itu. Tetapi teman-temanku tidak bosan-bosannya menggoda ku dengannya. Kami tidak pernah bertegur sapa walau kami sekelas bahkan ketika kami sesekali berpapasan, sampai akhirnya dia mendekati temanku -- Surya. Dia meminta nomerku kepada Surya dan mulai rajin mengirim pesan singkat kepadaku. Aku hanya membalas seperlunya, aku tidak pernah menaruh respect yang berlebih kepadanya. Sampai akhirnya ketika kami sudah sama-sama menginjakan kaki di kelas 12, kami mulai lebih dekat sebagai teman. Walaupun kita beda kelas tapi kami sudah mulai bisa bertukar percakapan ketika jam kosong atau jam istirahat tiba selain lewat pesan singkat tentunya. Bahkan kami terkadang berangkat dan pulang dari sekolah bersama. Ya, Setya sering menawariku untuk pergi dan pulang bareng dengan alasan agar aku bisa mengirit ongkos.

"Dy, lo mau gak jadi sahabat gue? Disini gue gatau siapa-siapa, ga begitu deket sama banyak orang. Cuma lo yang buat gue nyaman untuk cerita berbagi semuanya. Mau yah?" Aku sangat terkejut mendengar permintaan Setya, selama ini gak pernah ada seorangpun, laki-laki atau bahkan wanita yang memintaku secara langsung untuk menjadi sahabatnya. Disitulah permulaan kami mulai lebih dekat, sekarang sebagai sepasang sahabat bukan lagi sebagai teman biasa dan ya... Aku merasa ada orang yang menjagaku, membuatku tersenyum, membuatku dapat berbagi kisah yang aku miliki dan membuatku nyaman. Sekarang kami tidak hanya sering pulang dan pergi sekolah bareng. Tapi kami sering menghabiskan weekend kami bersama dengan mendatangi tempat-tempat yang ada di sekitar daerah kota kami tinggal, entah hanya sekedar untuk makan, menonton bioskop, atau melakukan kegiatan yang membahagiakan lainnya.
Kami semakin dekat, aku semakin nyaman -- sebagai sahabat. Dia memiliki wanita di hidupnya yang telah mengisi hatinya, wanita itu berada di pulau yang berbeda dengan kami. Kami -- aku tetap berusaha menganggap kedekatan kami hanya sekedar persahabatan, aku tidak pernah ada niat untuk merebut hatinya dari hati wanita itu, karna aku merasa memang kedekatan kita cukup karna alasan persahabatan. Tapi, pada suatu hari Setya mengirimkan pesan singkat kepadaku yang memberitahukan bahwa dia sudah mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya. Entah karna alasan apa, ada masalah apa di antara mereka, aku tak tau, Setya tidak pernah ingin berbagi cerita tentang masalah yang satu ini denganku. Waktu terus berjalan, kami semakin dekat, Setya semakin terbuka menunjukkan perasaan yang dimilikinya sampai akhirnya ketika kami di perjalanan pulang dari sebuah tempat makan di pusat kota, suasana di dalam mobil hening hanya ada sayup-sayup lagu Club 80's - dari hati. Lalu tiba-tiba Setya membuyarkan kesunyian "Kamu mau jadi pacar aku dy?" Aku diam sejenak mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya itu."Kamu mau jadi pacar aku dy?" Ulang Setya, mungkin Setya takut aku tidak mendengar kata-katanya tadi. "Apa yang kamu suka dari aku?" Tanyaku. "Semuanya, aku nyaman sama kamu." Entah karena apa, mungkin memang aku mulai jatuh hati padanya makanya aku menganggap jawaban itu lebih dari cukup. Lalu dengan nada pelan hampir tidak terdengar malah aku menerima permintaannya untuk menjadi kekasihnya, berbagi tawa dan tangis. Inilah awal pertama kali aku memiliki hubungan yang benar-benar ingin aku jalanin dengan serius.

Hari demi hari kami lewati dengan tawa, tapi tidak jarang pula kami menghadapi masalah-masalah kecil di hubungan kami. Mulai dari pilihannya untuk backstreet dari orang tuanya yang belum mengijinkannya untuk berpacaran, atau masalah-masalah kecil lainnya yang masih bisa kita hadapi bersama. Tapi... Tiba saatnya hubungan ini mungkin menapaki titik jenuhnya, walaupun hubungan kami masih bisa dibilang seumur jagung, masih dalam hitungan bulan. Kami sering berdebat kecil. Tapi, aku masih terus berusaha mempertahankan hubungan kami. Aku type orang yang tidak menyukai perdebatan, sekecil apapun itu, maka dari itu aku lebih sering mengalah jika sudah mulai terjadi perdebatan, ya walau kadang aku bisa meledak-ledak kalau sudah menumpuk masalahnya dalam diam. Tapi walau seperti itu aku, mungkin juga Setya masih terus berusaha menjaga hubungan kami. Sampai akhirnya aku mengetahui suatu hal dari sahabatku -- cyntia yang memberitahu ku bahwa Setya, orang yang aku cinta, yang memberikan aku rasa nyaman, yang memberiku keberanian untuk menjalani sebuah hubungan dengan serius bermain hati di belakangku dengan teman satu sekolah kami.
Aku berfikir harus bagaimana menghadapi masalah ini sampai akhirnya aku menelponnya untuk mengakhiri hubungan ini, ya pastinya dengan air mata, karena aku type orang yang sangat mudah menangis. Suara Setya pun terdengar sedikit berat diujung telpon, Setya masih sibuk menjelaskan -- atau lebih tepatnya berkelit untuk berusaha mempertahankan hubungan ini tapi hatiku sudah terlanjur hancur. Seseorang yang aku anggap bisa membuatku merasa satu-satunya cinta yang ada dihatinya, orang yang membuatku yakin akan sebuah keseriusan cinta memilih berkhianat. Duniaku gelap, hari-hariku kelabu. Tetapi sesakit apapun aku sekarang, aku masih tetap menganggappnya teman, memberikan sikap biasa sebagai teman tanpa sedikitpun menaruh rasa benci atau dendam untuknya. Tidak mudah memang melakukan semua itu di keadaan hatiku yang kecewa dan hancur. Tapi, bukankan hidupku akan terus hancur jika aku tidak bisa berdamai dengan keadaan yang ada? Maka dari itu aku berusaha berdamai dengan rasa kecewa dan kesakitan yang ku miliki saat ini...

Hari demi hari berlalu, aku mulai terbiasa tanpanya, sakit yang aku rasapun sedikit demi sedikit mulai terkikis. *bipbip* nada pesan singkat dari hp ku berbunyi. Sebuah pesan dari teman sekelasku -- Ares -- temannya Setya juga. Dia hanya memberitahu bahwa Setya menyampaikan pesan untukku melaluinya, Setya ingin aku tau, dia menyesal dan aku adalah wanita yang berbeda dan spesial dihidupnya. Dan Setya meminta maaf karena sudah menyia-nyiakan aku. Tapi bagiku semua sudah terlambat. Aku sudah terbiasa tanpanya, rasa ini pun hanya tersisa sedikit untuknya. Hatiku diam-diam sudah berhasil menyingkirkan rasa cinta ku untuknya.

Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan berlalu. Aku yang sekarang sudah meninggalkan seragam putih abu-abuku. Aku meneruskan pendidikan di salah satu Universitas swasta di Ibu kota. Hatiku masih sama, kosong. Butuh waktu yang sedikit lama untuk aku agar dapat menemukan sosok pengganti Setya, bukan karna aku masih menaruh cinta untuknya, tapi karena aku ingin mendapatkan sosok yang bisa menyayangiku apa adanya, mengerti aku, tidak pernah menyerah menghadapiku dan yang pasti bisa menjalani hubungan serius dengan ku, aku lelah bermain-main dengan cinta selama ini. Banyak lelaki yang datang -- entah hanya untuk sekedar lewat, singgah sebentar lalu pergi. Aku pun hanya menanggapi seperlunya. Sampai pada akhirnya aku bertemu lagi dengan kaka seniorku waktu di SMA yang sedang kembali ke kota ini untuk berlibur, dia beda satu tingkat di atasku. Mantan ketua futsal semasa dia masih bersekolah di bangku SMA -- Topan -- dia memiliki perawakan menenangkan dan menyenangkan, tidak terlalu tinggi, alisnya tebal, hidung mancung, bibir yang cocok untuk wajahnya dan rambut hitam yang di buat berjambul. Sekarang dia sedang meneruskan pendidikannya di kota yang terkenal dengan makanan khasnya -- gudeg. Kami tidak pernah saling berkenalan langsung selama ini, kami hanya saling mengetahui satu sama lain. Awalnya kami hanya sering bertukar chat biasa di sebuah jejaring sosial, menanyakan kesan-kesanku meninggalkan seragam putih abu-abu yang otomatis juga meninggalkan teman-teman terbaikku, lalu percakapan berlanjut ke pesan singkat, semakin kami semakin dekat. Topan rajin mengirimkanku pesan singkat, Topan menjadi sering mendatangiku ke rumah, hanya untuk sekedar ngobrol atau menjemputku untuk pergi keluar rumah. Bahkan Topan pernah meluangkan waktu untuk melihat aku tampil menari di suatu acara di sekolah kami dulu. Rasa nyaman itu pun mulai muncul dengan semakin dekatnya kami. Sampai akhirnya setelah Topan bermain futsal bersama teman-teman angkatannya, Topan mengunjungiku ke rumah. Tidak ada yang beda malam itu, langit cerah, bertabur bintang yang indah dan tetap timbul rasa nyaman setiap ku bersamanya. Malam sudah hampir larut sampai akhirnya Topan berpamitan untuk pulang. Tapi tiba-tiba Topan menarik tanganku pelan dan berkata "kamu mau gak LDR-an sama aku, dy?" Kata-kata yang terucap dari mulutnya terdenar sangan tulus, meyakinkan dan aku berfikir mungkin seseorang yang ada dihadapanku ini yang Allah kasih atas setiap doa yang aku panjatkan, seseorang yang akan sama-sama berjuang untuk hubungan ini walau aku tau jarak akan memisahkan kami nantinya. Caranya meminta berbeda, selama ini lelaki-lelaki yang ada di hidupku hanya memintaku sebagai pacarnya dengan kata-kata yang biasa, tetapi Topan punya kata lain untuk memintaku menjadi pacarnya dan aku sangat menyukai kalimat permintaannya itu. Dengan malu-malu aku mengiyakan tawarannya untuk menjalani hubungan jarak jauh -- Jawa Barat-Yogyakarta. Aku tau, ini akan menjadi sebuah hubungan yang sulit, tapi aku tidak harus langsung menjalankan hubungan jarak jauh kami ini, Topan masih akan menetap sekitar satu bulan lagi di kota ini, itu tandanya aku masih bisa berdekatan dengannya, menghabiskan waktu bersama di kota ini. Topan adalah sosok yang dewasa bagiku, dia mampu mengerti aku, menjaga aku dan meyakini aku bahwa kami mampu melewati semuanya bersama. Dia mengerti kecemburuanku, dia orang yang sangat bisa menjaga perasaanku. Kami jarang sekali bertengkar, apa lagi bertengkar hebat. Bahkan Topan telah memperkenalkanku dengan Mamanya, pertemuan singkat dengan acara makan malam di salah satu mall. Aku merasa ini makan malam tercanggungku, tapi Tante Tussy -- Mamanya Topan menerimaku dengan hangat. Sekarang aku percaya bahwa janji Allah selalu nyata, Allah akan memberikan yang lebih baik dari sebelumnya yang terbukti dengan Allah memisahkanku dengan Setya dan memberika Topan ke dalam hidupku.

Akhirnya waktu yang tidak pernah aku harap hadir, terjadi. Besok Topan akan kembali ke perantauannya. Sore ini Topan mengunjungiku kerumah membawa kado. Aku bingung, karna tidak ada yang ulang tahun. Tapi Topan meyakinkan bahwa kado ini untukku dan memintaku untuk membukanya. Sebuah boneka dan disertakan kartu ucapan dengan amplop berwarna merah. "Boneka ini untuk kamu, sebagai pengganti aku disini, biar kamu bisa selalu merasa bahwa aku dekat sama kamu. Aku pamit yah. Jaga diri kamu disini." Membaca surat yang Topan tulis sendiri sentak air mataku mendesak untuk keluar tanpa bisa aku kendalikan dan aku hanya bisa memeluknya erat. Dia membalas pelukanku erat, "semua akan baik-baik aja, kita akan baik-baik aja. Kita berjuang sama-sama yah." Mungkin benar, cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi, aku harus mulai berjuang. Hari semakin larut, Topan berpamitan kepadaku sambil terus menenangkan dan meyakinkan aku bahwa semua akan baik-baik saja dan Topan akan selalu menyempatkan pulang bila ada libur. Topan juga berpamitan kepada ayahku yang kebetulan ada dirumah. Aku melepasnya dengan air mata, dan menyesal karena tidak bisa mengantarnya ke bandara besok.

Awal-awal aku mulai menjalani hubungan jarak jauh ini aku masih merasa yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Semua kepercayaan yang aku miliki aku berikan untuknya, begitupun sebaliknya. Tapi, terkadang masalah kecil timbul karna komunikasi yang sedikit terhambat karna gangguan signal. Ini adalah hambatan kecil hubungan kami yang sangat menyiksa. Tapi mungkin Tuhan ingin kami menjadi orang yang penyabar dan saling percaya. Dan masalah lainnya adalah rasa cemburu dan khawatir Topan kepadaku. Ya, dia khawatir jika aku harus terus-menerus berangkat dan pulang kuliah sendiri dengan angkutan umum. Topan sangat merasa tidak berguna karna tidak bisa menjagaku disini. Tapi aku meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Sampai suatu ketika aku merasa ada seorang lelaki dewasa yang terus memperhatikanku di angkutan umum. Aku hanya berdua dengan lelaki menyeramkan itu, dan tentunya bertiga dengan sang supir. Rambutnya gondrong, badangnnya lumayan tinggi dan perawakannya menakutkan bagiku. Aku mengabari Topan ttg keadaan itu, Topan sangat khawatir, tapi lagi-lagi jarak menjadi kendala Topan untuk menolongku. Dan kebetulan temanku -- Galih sedang bertukar private message denganku melalui blackberry masanger, aku pun juga bercerita kepadanya, dan Galih langsung memintaku untuk turun dari angkutan dan memaksaku untuk menunggu disuatu tempat karna dia akan menjemputku. Awalnya aku ragu, tapi kemudia aku menurutinya dan menunggunya, tetapi aku memikirkan perasaan Topan, aku tau bagaimana perasaan Topan jika aku pulang dengan lelaki lain walau aku hanya sekedar berteman dengannya. Akhirnya aku memutuskan untuk segera berubah pikiran dan meminta Galih untuk tidak menjemputku. Akhirnya aku kembali memilih kendaraan umum yang lainnya dan sesampainya aku dirumah aku langsung menceritakan tentang niat Galih untuk menolongku, tapi aku kaget, sika Topan jauh dari dugaanku, Topan marah besar dan begitu saja memutuskan hubungan kami -- yah, Topan cemburu dengan Galih ternyata. Galih memang orang yang sangat baik dengan teman-temannya juga bahkan dengan mantan-mantannya. Aku berteman dengan Galih dan juga mantannya -- Diana. Kami terkadang suka menghabiskan malam minggu bertiga. Lalu aku hanya bisa menangis saat Topan memilih keputusan itu. Berat bagiku karna aku merasa Topan yang paling mengerti aku. Hari berganti hari, kemudian Topan menghubungiku, "surat dari aku sudah sampai dy? Aku mengirimkan kamu surat dari sini. Aku khawatir surat itu belum juga sampai ke kamu, karna aku sudah mengirimnya dari 2 hari yang lalu, ponselmu juga tidak pernah ada jawaban jadi aku memutuskan untuk mengirim surat dan seharusnya hari ini sampai di kamu." Nadanya terdengar sedikit panik. "Aku belum menerima surat apapun, mungkin nanti akan sampai." Jawabku. beberapa jam kemudian ada surat yang disampaikan pengurus rumahku untukku, yah ini surat yang dimaksud Topan. Aku membukanya dan mulai membaca. "Aku minta maaf dy karna aku gabisa ngertiin keadaan kamu yang lagi bahaya, maafin aku ga bisa jaga kamu, dan maaf aku ga mau dengerin penjelasan kamu saat itu dy, aku nyesel. Aku belum bisa pulang untuk meminta maaf secara langsung ke kamu. Aku mau kamu kembali ke aku dan maafin semua salah aku. Aku janji gak akan begitu lagi dy. Hubungi aku kalo kamu udah terima surat ini." Aku terdiam, hatiku luluh, aku masih sangat mencintai Topan, aku pun menerimanya kembali.

Hari-hari berlalu seperti biasanya, signal semakin menjadi pengganggu untuk hubungan kami dan... Ya, ada teman Topan yang mengganggu menurutku. Malam ini aku membuka TL account twitter Topan dan aku menemukan mention dari teman wanitanya disana yang menurutku bercandanya sudah tidak wajar. Aku cemburu, aku marah kepada Topan, aku marah kepada wanita yang mencoba merayu Topan itu, tapi kali ini Topan berbeda, Topan sudah tidak bisa lagi mengerti rasa cemburuku. Topan membela diri dan tentu saja juga membela wanita itu. Harusnya kami bisa sama-sama meredam kemarahan, harusnya kami sama-sama bisa menyelesaikan setiap masalah dengan tenang. Tapi tidak malam ini, rasa kangenku padanya yang memuncak tapi tidak kunjung terobati juga menjadi pemicu aku menjadi sangat emosional malam ini. Dan tentunya juga masalah wanita itu. Kami kembali mengakhiri hubungan ini, yah, benar-benar berakhir. Aku menghapus semua kontaknya, rasa kecewaku, amarahku dan juga ego ku meningkat. Yah, perpisahan itu adalah komunikasi terakhir kami, komunikasi yang sangat tidak ingin aku ingat-ingat kembali. Lagi-lagi Tuhan ingin aku mendapatkan yang lebih baik.

Tapi kini berbeda, aku sangat sulit untuk menghilangkan rasa cintaku pada Topan, hari-hariku lebih gelap dibanding ketika aku berpisah dengan Setya, senyum dibibirku sulit untuk tersungging. Tapi aku tetap harus menjalani hidupku tanpa Topan, kan? Dan harusnya aku tidak perlu merasa terlalu sulit karna bukankah selama ini aku sudah terbiasa tanpa Topan ada disampingku? Kami hanya menjalani hubungan jarak jauh yang hanya melakukan komunikasi lewat blackberry massanger atau telpon sesekali. "Jadi harusnya aku bisa melewati masa-masa ini!" Gerutuku. Tapi, pernahkah kalian membayangkan sakitnya melihat kehancuran hubungan yang kamu perjuangkan walau harus melawan jarak hanya karena seorang wanita yang tidak menghargai hatimu disini? Sudahlah.

Semua pria yang mencoba mendekat aku abaikan mentah-mentah. Perlu waktu berbulan-bulan untukku membiasakan diri. Dan akhirnya aku kembali berkomunikasi dengan pria yang entah aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya, perkenalan kami hanya terjadi lewat salah satu jejaring social -- facebook -- sekitar 1,5 tahun yang lalu. Tapi entah, ada senyum yang mulai tersungging lagi dari bibirku karnanya, bahkan tawa dari bibirku merekah. Ini hal yang sangat aneh, belum pernah aku alami sebelumnya dihidupku, aku bisa merasa bahagia dan nyaman dengan seseorang yang bahkan sama sekali belum pernah aku tatap langsung matanya -- Bara. Bara adalah salah satu mahasiswa tingkat 3 di salah satu universitas swasta di Ibu Kota.

Kami menjadi sering bertukar kabar, bercanda melalui blackberry massanger. Entah apa yang membuat kami menjadi sedekat ini dan entah apa yang membuat aku merasa nyaman dengannya, padahal Bara lebih sering menggoda dan membuatku jengkel. Karna kami semakin dekat, akhirnya Bara mengajak aku untuk bertemu -- 11 Januari. Bara menawarkan diri untuk menjemputku, tetapi karena Bara tidak begitu paham dengan daerah tempat tinggalku akhirnya aku menunggunya di salah satu bank dekat SMA ku dahulu. Bara memintaku untuk menunggu dan dia memberitauku bahwa kendaraan yang ia kendarai berwarna hijau. Aku mengamati setiap sepedah motor berwarna hijau yang berlalu lalang, cukup lama dan tidak juga ada hasilnya. Akhirnya dering tanda bbm masuk di smartphone ku berbunyi -- dari Bara, dia mengatakan bahwa sudah sampai di tempat yang aku maksud. Ya, aku melihat ada mobil hijau yang berhenti tepat di sebrang aku berdiri saat ini. Aku menghampirinya dan membuka pintunya dengan sangat ragu. "Hallo. Bara yah?" Tanyaku hati-hati. "Iya, Laudya kan? Hallo salam kenal." Dia menjulurkan tangannya dan aku sambut uluran tangannya -- perkenalan yang lucu bagiku. Buatku, Bara lebih menawan dari yang aku lihat selama ini difotonya, entah apa yang membuat aku terkesan pada dirinya, aku menyukai rambutnya dan semua yang ada di wajahnya. Pertemuan pertama kami sedikit kaku, ya mungkin karena kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Bara orang yang sedikit pendiam, jadi agak sulit untukku mencairkan suasana. Diamnya lah yang membuat aku berfikir mungkin Bara tidak memiliki ketertarikan yang sama dengan yang aku punya saat ini.

Setelah pertemuan itu aku merasa Bara sedikit memberi jarak pada kedekatan kami, ya lagi-lagi ini membuatku bingung. Tapi, hari demi hari berlalu, Bara mulai kembali lagi seperti biasa bahkan Bara sempat memberikan panggilan khusus untukku -- Buwm, entah aku tidak mengetahui arti yang pasti dari kata tersebut dan Barapun tidak bisa menjelaskan artinya, mungkin Bara hanya asal menyebutnya. Tapi aku menyukai panggilan itu. Setelah pertemuan pertama tidak ada lagi pertemuan berikutnya untuk waktu yang cukup lama, tapi Bara bilang dia sangat ingin menemuiku hanya saja waktunya belum memungkinkan karena sepulang Bara dari liburannya ke Bandung bersama teman-temannya Bara jatuh sakit, dan tidak bisa menemuiku karena Ayahnya melarangnya. Setelah sembuh Bara langsung beranjak ke Jogja untuk menemani adiknya yang akan melakukan test masuk perguruan tinggi disalah satu Universitas Swasta disana. Setelah beberapa hari setelah Bara kembali ke Kota ini, Bara mengajakku untuk bertemu kembali, dan aku menyetujuinya. 28 januari -- Bara menjemputku di SMA tempat aku bersekolah dulu, karena sebelumnya hari ini aku memang menghadiri acara disini. Bara mengajakku makan di salah satu Cafe yang terletak di Ibu kota -- kafe dengan penerangan sedikit rendah, yang dihiasi dengan tokoh-tokoh mainan yang di bingkai kaca besar, sedikit menyeramkan untukku. Kami hanya sekedar makan malam biasa, setelah selesai kami memutuskan untuk pulang. Ketika memasuki mobil, Bara merogoh bagian belakang mobil dan mengambil sesuatu -- bunga mawar merah. Bara memberikanya kepadaku, dan bodohnya aku hanya tertegun diam. "Mau jadi pacar gue gak?" Ungkapnya dengan agak malu-malu. Aku hanya diam saat Bara mengungkapkan kata-kata itu, bingung harus bagaimana menjawabnya. "Kalo gak mau juga gapapa, gue gak maksa kok" sambungnya. "Gue mau kok jadi pacar lo." Jawabku cepat. Seulas senyum mengembang di bibir kami berdua bersamaan. Lalu Bara mulai menekan pedal gas dan menelusuri perjalanan pulang.

Hari-hari kami lalui bersama, kami sering sekali terjebak dalam rasa cemburu atau masalah-masalah sepele yang berujung pertengkaran kecil, yah aku anggap ini adalah bagian penyesuain yang yah aku akui, sedikit susah untuk menyesuaikan diri dengannya. Tapi, entah mengapa rasa sayangku bertumbuh dengan sangat cepat untuk Bara, jauh dari perkiraanku -- Sangat dalam. Bara bagiku adalah sosok seorang kekasih dan juga seorang kakak yang bisa merangkul aku -- awalnya. Hari-hari berlalu sikap Bara yang aku sukai itu mulai memudar. Bara terlihat semakin menampakkan sisi egoisnya, dan senang sekali memojokkanku setiap kali kami terjebak dalam masalah-masalah. Tapi entah, aku lebih banyak mengalah agar kami tidak terlalu sering terjebak dalam suasana yang terlalu panas. Aku bukan orang yang pengalah, tapi entah dengan Bara sikap ini yang terus muncul setiap aku menghadapi masalah dengannya. Tapi sesekali aku geram maka aku akan meledak marah padanya. Tapi, setiap kemarahanku meluap, selalu saja ditanggapi dengan amarah juga olehnya. Kami mungkin belum sama-sama dewasa, mungkin kamu belum sama-sama mengerti tentang pribadi masing-masing. Baik aku dan Bara selalu berusaha untuk menjadi dewasa, untuk diri kami sendiri, untuk kita. Hari-hariku juga banyak diberi tawa karena Bara disampingku. Dan aku menyukai setiap moment dimana kami bisa sama-sama saling mengerti.

Bara pun aku perkenalkan kepada mama, dan mama sangat menyukai Bara. Mama bilang, Bara anak yang baik dan sangat sopan, terlihat sebagai orang yang penyayang. Tapi sayang, Bara tidak pernah memperkenalkan aku secara khusus kepada orang tuanya. Ayahnya tidak mengizinkan Bara untuk berpacaran. Ibunya, sudah bahagia dengan Allah sejak setahun yang lalu. Aku sempat menyesal kenapa tidak sejak lama aku kenal dengan Bara, entah mengapa setelah melihan foto Ibu -- panggilanku untuk Ibunya Bara, aku merasa nyaman dan menyesali karena tidak pernah mengenalnya secara langsung. Ibu terlihat sebagai seseorang yang sabar dan sangat penyayang. Mungkin itu yang Ibu turunkan kepada Bara. "Ibu pasti lihat kamu dari atas sana, Ibu pasti menyukai kamu. Kamu wanita baik, dan aku menyayangimu. Dan aku akan menjadikan kamu sebagai wanita yang terakhir dihidupku." Begitulah cara Bara meyakinkanku.

Malam ini aku tidur dengan pulas seperti biasanya, tapi ada yang membedakan tidur ku kali ini. Untuk pertama kalinya aku memimpikan Ibu, yah sosok yang tidak pernah aku jumpai langsung tiba-tiba datang ke mimpiku. Di mimpiku, Ibu menyandarkan kepalaku ke pangkuannya dan mengelus rambutku dengan lembut. Aku bisa merasakan betapa hangatnya mimpi tersebut. Dan entah sejak kapan, aku mulai tambah menyayangi sosok Ibu dan meminta izin kepada Bara untuk menganggapnya sebagai Ibu bagiku juga dan Bara mengizinkannya. Aku bahagia, walau aku sudah tidak bisa bertatap langsung dengan Ibu, setidaknya aku bisa merasa bahwa Ibu mungkin menyukaiku dan merestui aku dengan Bara. Yah, walau tidak dengan Ayah Bara -- belum waktunya mungkin.

Hari ini ulang tahunku. Sejak kemarin aku memang merasa tidak enak badan. Badanku panas dan kepalaku terasa sangat pusing. Aku mendapat kejutan dari orang tuaku tepat jam 00.00 WIB. Dan Bara memberi ucapan melalu BlackBerry Masanger, chat maupun VN. Dan yang membuat aku sangat terkesan, Bara mengirimkan rekaman-rekaman ucapan selamat ulang tahun untukku dari teman-teman kampusnya. Tetapi di hari spesialku Bara tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengunjungiku ke rumah, baik untuk mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung atau untuk sekedar menjengukku. Ya, aku sedikit marah kepada Bara. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lebih cepat yaitu pukul setengah 9 malam, karena kondisiku juga memaksaku untuk beristirahat. Tapi tidur nyenyakku dibangunkan dengan getaran yang berasal dari smartphoneku. Teman kampusku -- Sefa berkali-kali menghubungiku ingin memberi tau bahwa Bara menungguku di luar rumah. Mungkin Bara meminta tolong Sefa untuk membangunkanku -- Bara memang sengaja aku perkenalkan dengan beberapa teman kampusku, dengan sahabat rumahku dan juga sahabat SMA ku. Aku ingin Bara mengenal duniaku. Saat aku melihat lagi dengan jelas, memang ada banyak pesan dari Bara yang ingin memberi kabar bahwa dia ada di depan rumahku. Akhirnya aku cepat-cepat lari keluar untuk menyambut kedatangan Bara. Dia terlihat sangat kerepotan -- terlihat lucu sekali. Tangannya penuh dengan 2 kantong plastik dan sekotak kue yang dia pegang dengan lilin menyala -- 18. Yah umurku baru menginjak 18 tahun. Berbeda 3 tahun dengan Bara. Bara memintaku untuk meniup lilin dan memotong kue. Tapi, aku melakukannya dengan sedikit lemas karena kondisi fisikku yang sudah semakin tidak mengenakkan. Akhirnya tidak lama setelah aku meniup lilin Bara langsung memutuskan untuk izin pulang.

Keesokan harinya Bara kembali mengunjungiku ke rumah. Dia mengantarku ke UGD yang berada di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Bara terlihat agak khawatir melihat keadaanku yang semakin melemah. Dan benar saja, aku harus menjalankan rawat inap karena kandungan trombosit di tubuhku sangat rendah -- aku deman berdarah dan tipes. Sejak dinyatakan demam berdarah dan tipes, Bara sering mengunjungiku ke rumah sakit, menjagaku. Aku merasa sangat bahagia. Bara sangat menjagaku, memperhatikanku, dan yang paling membuatku sangat bahagia -- aku dan Bara jadi tidak pernah bertengkar lagi. Yah, mungkin harus dengan keadaan seperti ini dulu baru akan membuat Bara menjadi sosok yang seperti malaikat bagiku. Membuat nyaman dan selalu aku nantikan.

Beberapa lama setelah aku diperbolehkan pulang dan dinyatakan sehat, kami kembali menjadi pasangan yang lebih banyak berdebatnya ketimbang keadaan yang menentramkannya -- keadaan yang selalu aku nantikan. Cemburu lagi-lagi sering menjadi pemicunya. Bara cemburu dengan salah satu mantanku yang mencoba menghubungiku -- Kautsar. Bara sangat cemburu dan sangat marah padaku. Aku panik, sampai akhirnya aku memutuskan untuk membeli kue untuk permintaan maaf dan aku bawa ke kampusnya. Tapi ketika Bara menemuiku di parkiran kampusnya, respon yang tidak pernah aku duga sebelumnya, Bara malah memintaku untuk membawa kembali kue yang aku bawa. Hatiku sakit, perjuanganku terasa sia-sia. Tanpa pikir panjang aku langsung meninggalkan Bara. Tapi, Bara langsung menyusulku dan meminta maaf. Syukurnya masalah satu ini tetap membuat kami bertahan.

Setelah masalah yang terjadi itu, kami semakin berusaha belajar untuk menurunkan ego, dan aku cukup berhasil sedikit demi sedikit membunuh ego yang aku miliki -- tentu saja untukknya dan untuk kita, tapi tidak dengan Bara, Bara masih sering kembali mejadi sosok yang penuh dengan egonya yang tinggi. Kami sering mengakhiri hubungan ini jika merasa sudah tidak tahan dengan pertengkaran yang terjadi, tapi kami juga terus kembali bersama. Cinta yang begitu besar, kebiasaan yang telah terbentuk sedemikian kuat yang membuat kami sulit memisahkan diri.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, kami masih melaluinya bersama, sebagai sepasang kekasih tentunya. Tidak terasa sudah memasuki akhir September, aku harus mempersiapkan hadiah-hadiah untuk ulang tahun Bara, aku masuk ke mall yang satu dan keluar dari mall yang lainnya untuk mencari hadiah spesial untuknya. Dan aku juga membuatkannya pajangan sederhana yang memuat foto-foto dirinya dari kecil sampai sekarang, sendiri, dengan keluarganya maupun denganku. Aku ingin memberi sesuatu yang berbeda untuk Bara, aku ingin memberikan hasil usahaku sendiri untuknya, yang tidak bisa Ia lupakan. hari ulang tahun Bara tiba, aku sengaja meminta tolong kepada teman rumah Bara - Clo, yang belum aku kenal sama sekali untuk membantuku memberi surprise untuk Bara, dan Clo bersedia untuk membantuku, dia pun mengajak 2 teman yang lainnya untuk ikut bergabung. Acara hari ini sukses, aku mengunjungi rumah Bara dan memberikan surprisenya, Bara sangat kaget mengetahui aku yang tiba-tiba ada dirumahnya. Dan hari ini kali pertama aku berkenalan secara langsung dengan ayahnya -- sebagai teman pastinya.

Malam sudah semakin larut, aku meminta izin untuk pulang, Bara mengantar aku sampai jalan utama. Sesampainya aku dirumah, aku kaget membaca isi bbm dari Bara, dia mengira aku menyukai salah satu temannya yang ikut membantuku tadi. Hatiku sakit, aku susah payah membuat semua ini untuknya, tapi Bara malah menuduhku yang tidak-tidak. Pikirannya sangat ingin aku cuci saat ini juga. Aku marah, jelas. Tapi akhirnya Bara meminta maaf untuk pemikiran jeleknya itu. Hari-hari berlalu, tidak ada yang terlalu spesial. Semuanya berjalan seperti biasanya, di dominasi dengan perdebatan-perdebatan, tapi kami masih berhasil mengatasi semuanya dan memilih untuk tetap bersama.

Pergantian tahun datang, aku sengaja dirumah merayakannya dengan Bara dan adikku - Pece. Kami bbq bersama, lalu ketika detik-detik pergantian jam kami bermain kembang api. Malam yang cerah dan sangat Indah, bukan hanya karena gemerlap kembang api yang menghiasi langit, tetapi juga karena ada Bara bersamaku. Ini kali pertama aku merayakan pergantian tahun bersama kekasih yang sangat aku sayangi. Tidak terasa waktu kini menginjakkan di Januari, tandanya ini bulan ke 12 aku bersama Bara. Tetapi sayang, ketika tepat satu tahunan aku bersamanya, Bara sakit dan kami tidak merayakannya. Aku sangat kecewa, karena ini juga kali pertama aku bisa menjalani hubungan sampai menginjakkan satu tahun. Bara pun tidak ada usaha untuk menemui ku sebentar saja. Aku marah, aku memutuskan hubunganku dengan bara -- ya, tepat pada satu tahunan kami, ironis sekali. Kalian bisa bayangkan bagaimana kecewanya perasaan aku saat tidak ada sesuatu yang spesial di kali pertama aku bisa menginjakkan hubunganku yang mencapai satu tahun? Sedih, tapi mungkin aku terlalu banyak berekspetasi pada satu tahunan kami, pada Bara. Dan ini juga kali pertama kami putus untuk waktu yang cukup lama, sebulan. Aku harus melewati hari ulang tahunku tanpa Bara, ya, aku kira aku masih menjadi seseorang yang spesial untuknya, ternyata tidak, Bara hanya mengucapkan selamat ulang tahun llewat blackberry massanger dan Bara bukan jadi orang pertama yang mengucapkan. Dua moment pentingku dihempaskan begitu saja olehnya. Sedih, jelas... Dua momen spesialku hancur, aku ingin marah tapi entah ke siapa... Tapi tidak lama setelah ulang tahunku Bara mengajakku untuk kembali bersama. Dan aku menerimanya kembali. Aku fikir, itu akan jadi kali terakhir hubungan kami terpisah, ternyata tidak. Saat aku ada acara di kampung halamanku -- Jogja, selama satu minggu, sikap Bara menjadi sangat berubah. Dia menjadi sangat dingin, gampang tersulut emosi. Setiap hari aku hanya di marahi olehnya, pertanyaan-pertanyaanku hanya ia jawab seperlunya, bahkan perhatian-perhatianku cuma di respon seperlunya. Tapi aku masih bertahan, aku masih bersikap biasa kepadanya. Aku pikir setelah aku kembali ke Kota asalku Bara akau kembali seperti biasanya ke aku, ternyata tidak. Bara hanya bersikap biasa ke teman-temannya. Dan itu kepada 4 wanita yang aku perhatikan dari komunikasi mereka di salah satu media social. Aku marah -- aku cemburu, Jelas! Wanita mana yang tidak hancur melihat lelaki yang begitu dicintai malah lebih bisa berbagi tawa dengan wanita-wanita lain ketimbang dirinya? Bara harusnya berbagi tawanya denganku tapi tega bersikap seperti ini, membuatku menangis dan lebih memilih berbagi tawa dengan mereka.

Sampai akhirnya aku tidak kuat lagi menahan semuanya, aku meminta Bara untuk menemuiku, aku mencurahkan semua yang aku rasa dan aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Bara sempat menolaknya, tapi aku bersikeras untuk mengakhirinya. Hatiku terlalu sakit untuk hal yang satu ini. Tapi tidak sampai sebulan kami kembali bersama jelas dengan janji-janji Bara untuk berubah dan aku mempercayainya, rasa sayangku yang begitu besar membuatku selalu ingin kembali kepadanya. Aku mengira Bara benar-benar bisa berubah, tetapi mungkin aku salah. Bara semakin dekat dengan teman-teman wanitanya. aku sudah dengan sangat jelas menunjukkan ketidak sukaan ku kepada kedekatan mereka, tetapi Bara tidak begitu menggubrisnya. Ada satu wanita yang sangat tidak aku sukai -- Gendis. Wanita ini entah ingin menunjukkan bahwa dia bisa dekat dengan setiap teman laki-lakinya termasuk Bara atau entah dia memang menyukai Bara. Dia selalu mengupdate kesan-kesan yang mereka lakukan baik di kampus maupun di chat bbm. Dan yang paling menyebalkan, Bara selalu meladeninya. Aku geram, aku cemburu, aku marah kepada Bara. Tapi Bara tanpa aku duga balik memarahiku dan yang benar-benar mengaggetkanku saat bara berkata aku seperti sangkar untuknya, dan dia capek selalu ada di dalam sangkarku.

Aku menangis sejadi-jadinya, seseorang yang aku anggap duniaku, aku anggap kebahagiaanku, bahkan aku selalu memberi semua yang bisa membahagiakannya tanpa ia harus memintanya terlebih dahulu menganggap aku hanya sebuah sangkar baginya yang menyiksa untuknya. Kamu tau rasa sakit ini, Bar? Aku hancur, hidupku terasa gelap. Kami berpisah. Demi Gendis, Bara meninggalkanku, demi Gendis Bara rela membuatku menangis dan hancur. Aku membencinya, aku terlebih membenci Gendis. Aku membenci hidupku saat ini. Dan Aku... Hancur.

Mungkin benar, aku memang terlalu banyak mengurung Bara dalam sangkarku. Aku terlalu membatasi Bara untuk berteman dengan teman-teman wanitanya. Aku mungkin terlalu cemburu, tapi, inilah aku. Hariku jauh lebih gelap dari sebelumnya, jauh lebih hancur. Tapi jika aku tidak mengikhlaskan Bara, aku tidak akan bisa menjalani hidupku kembali.  Bara juga butuh kebebasannya, Bara butuh teman-temannya. Sekarang, aku harus menata hidupku perlahan. Masih banyak orang yang ingin melihatku tersenyum, bukan Laudya yang selalu murung dan lebih banyak menghabiskan waktu mengurung diri di kamar untuk menangis. Sekarang, aku mengikhlaskan Bara. Aku mengikhlaskan rasa sakit yang Bara tanamkan di hidupku. Bara memang sudah seharusnya mencari sarangnya, mencari kehidupannya. Bukan aku, bukan bersamaku. Terbanglah duniaku, berbahagialah kebahagiaanku. Aku akan sangat merindukanmu....

"Setiap orang membawa pisau tumpul, setiap kebahagiaan yg diberikan kepadamu akan mengasahnya, karnanya ia mampu menyakiti luar biasa." Bara membawa kebahagiaan yang begitu luar biasa ke dalam hidupku. Tetapi aku lupa, kebahagiaan itu yang nantinya akan menyakitiku dengat hebat. Tapi satu yang aku yakini, Tuhan ingin aku kembali belajar dan menjadi wanita yang lebih kuat dan hebat dengan cinta yang tulus dan kesbaran yang tidak ada batasnya.

-- SEKIAN --

Nb: mohon maaf jika ada kesamaan nama, tokoh, karakter atau cerita. Tulisan ini hanya FIKTIF belaka.