Selasa, 28 Mei 2013

happiness?


Pagi ini aku meninggalkan kota kelahiranku dengan membawa semua luka yang ada selama aku berada di kota ini. Aku duduk sendiri di bangku kereta untuk menuju daerah istimewa yogyakarta. Perjalananku kali ini bukan untuk mengunjungi eyang kakung dan eyang putri disana. Bahkan aku tidak ada rencana sama sekali untuk mengunjungi mereka. Aku hanya ingin melupakan semua kesakitan yang aku rasa. Aku ingin mencari kenyamanan yang telah lama menghilang dari hidupku. Aku ingin menemukan kehangatan keluarga dan hangatnya dekapan yang diciptakan oleh sebuah cinta.

Aku menapaki stasiun Tugu pada sore hari. Sore yang indah dengan langit yang menampakan kecantikan senjanya sedikit demi sedikit. Awal yang indah, mendamaikan. Tapi apakah mungkin aku bisa merasakan kedamaian yang lainnya selama aku berada disini? Entahlah, biar takdir yang menentukan semuanya, bahkan takdir pula yang membawa aku  ke tempat sejauh ini. Tempat yang selalu aku harapkan membawa kedamaian. Ya… setidaknya membuatku melupakan semua kesakitan yang ada.

Sebentar menikmati senja dengan latar peron-peron dan gerbong kereta api aku langsung bergegas menuju salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari stasiun terbesar kota ini untuk beristirahat sebentar.

Malam ini, malam pertama aku berada di kota ini. Kota yang penuh akan keramaian yang tidak pernah meninggalkan cirri khas keramahannya. Aku menapakkan kakiku di kilometer 0 yogyakarta yang terletak di daerah perbelanjaan Malioboro dan tidak jauh dari alun-alun kota Yogyakarta. Aku duduk sendiri memperhatikan setiap aktifitas perkumpulan komunitas-komunitas yang ada di kota ini. Mereka tertawa, menjalankan hobby nya dengan tawa. Ya… mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan aku? Aku masih harus terjebak dalam kegiatan yang tidak pernah aku sukai, tetapi bukan berarti aku melakukannya tanpa senyum. Aku selalu mengulum seutas senyum dalam melakukan semua kegiatanku selama ini. Kegiatan yang sudah 2 tahun lebih aku jalani. Bahkan aku selalu mengulum seutas senyum kepada semua orang yang aku temui walau keadaan hatiku tidak dalam keadaan yang membuatku nyaman. Ya, walau hanya seutas senyum palsu setidaknya mereka percaya bahwa hidupku baik-baik saja, hari-hariku menyenangkan, kisah percintaanku selalu membahagiakan bahkan keadaan keluargaku yang sangat hangat. Ya… mereka percaya akan seutas senyum itu. Senyum yang selalu menggores luka dihati.

Andai saja aku bisa bebas… bebas dari semua masalah yang ada… keluargaku mulai menampakann kehancurannya sejak sekitar 7 tahun yang lalu. Keluarga ini tidak lagi menampakkan kehangatan. Bahkan aku tidak pernah lagi betah untuk berlama-lama di rumah jika anggota keluargaku sedang berkumpul. Aku muak melihat kepura-puraan dianatara kedua orang tuaku. Berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja namun selalu ada amarah dan air mata di dalamanya. Aku terkadang ingin lari jauh… sejauh-jauhnya dari keluargaku, meninggalkan semua kepalsuan yang ada, meninggalkan luka yang semakin lama semakin dalam. Terkadang aku berfikir, tidakkah sebaiknya mereka berpisah agar tidak ada lagi kepalsuan yang menyakitkan ini? Aku sakit, hatiku tergores dalam…

Tuhan… aku tau, manusia memang tidak pernah bisa meminta bagaimana dia terlahir, dengan cara apa dia tumbuh dan dikeluarga seperti apa dia hidup. Tapi mengapa engkau tidak memberikanku keluarga yang penuh dengan kehangatan? Bukan keluarga yang selalu penuh akan kepalsuan itu Tuhan. Mengapa aku tidak bisa tertawa bahagia seperti anak-anak yang ada di komunitas itu? Mengapa aku harus mengalami kehidupan seberat ini Tuhan…. Aku ingin tertawa bahagia disetiap langkahku. Setidaknya aku tidak ingin selalu memberikan senyum palsu ke semua orang yang aku temui.

Tiba-tiba lamunanku tersadarkan akan suara bising yang berasal dari pemain gamelan yang berada tidak jauh di sebrang tempat aku duduk saat ini. Inilah yang aku suka dari malioboro. Ramai, penuh seni… hangat… sumpah demi apapun, aku sangat mencintai kota ini Tuhan…

Pagi ini aku tidak memiliki banyak semangat untuk menjelajahi kota ini. Entah… aku biasanya seperti memiliki suntikan semangat yang tinggi untuk menjelajahi sudut-sudut kota ini setiap aku menapakkan kaki ku di Yogyakarta. Setelah sarapan aku hanya berenang sebentar di kolam renang yang memang disediakan di hotel yang lumayan besar ini, lalu aku kembali kekamar untuk beristirahat kembali. Tidak. Aku tidak beristirahat, aku hanya ingin menghilang dari keramaian pagi ini. Aku merindukannya, merindukan dia yang telah menghancurkan hatiku untuk kesekian kalinya. Orang yang membuat aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan semua kenangan indah dan juga menyakitkan disana.

Aku menjalin hubungan dengannya beberapa bulan sebelum kami memasuki tahun ke dua. Jadi wajar saja jika aku masih memiliki cinta yang begitu besar terhadapnya, lelaki itu yang membuat hidupku sedikit berwarna selama ini, lelaki itu yang membuatku melupakan setiap masalahku sejenak, walau dia tidak pernah memberikan aku waktu untuk menceritakan setiap masalah yang aku hadapi, tapi setidaknya dia sesekali menjadi alasanku untuk tersenyum… senyum yang tulus. Tetapi itu dulu, sebelum akhirnya dia menghancurkan hatiku berkali-kali sampai akhirnya aku benar-benar menyerah dan memilih menyingkir ke kota ini saat ini.

Tuhan memberi kita luka pasti Tuhan juga akan memberikan penawar luka itu. Tuhan memberikan aku keluarga yang jauh dari kehangatan, tapi Tuhan memberikan dia ke hidupku untuk menawarkan kehangatan yang tidak aku miliki. Tuhan memang adil, ya, terkadang… sampai akhirnya aku kembali merasa bahwa Tuhan merenggut kebahagiaan kecil yang ku miliki dan menggantinya dengan setumpuk luka yang mendalam. Kehancuran yang tidak henti-hentinya. Aku membenamkan wajahku di bantal dan mulai kembali menangisi keadaanku yang teramat malang. Tidak, harusnya aku tidak menyalahkan Tuhan akan semua yang terjadi. Bukankan Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk setiap umatnya? Aku segera menghapus air mata yang masih tersisa di pipiku. Hey, bukankah aku jauh sampai kota ini untuk melupakan semua kesakitan yang aku rasa? Bukankah harusnya aku bersenang-senang di kota ini?

Waktu memasuki jam makan siang, aku segera bergegas ke salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di kota ini, tempat ini adalah salah satu cabang dari tempat makan sederhana yang hanya menjajakan sop ayam dengan berbagai sate dan gorengan, tetapi begitu nikmat. Siang ini aku tidak makan sendirian, aku makan ditemani oleh sepasang kakek-nenek pemulung yang aku temui saat perjalanan menuju tempat ini. Wajah mereka mendamaikan, entahlah terlihat penuh cinta dan kasih.

Selesai menyantap makan siang aku mengunjungi rumah kakek-nenek ini, rumah yang sederhana, bahkan begitu sempit bagi mereka berdua tetapi terasa penuh kehangatan, tidak seperti rumahku yang cukup besar tapi tidak ada kehangatan didalamnya. Aku medapatkan kehangatan di kota ini melalui mereka. Mereka memperlakukan aku seperti cucunya sendiri. Anak-anak kakek dan nenek meninggalkan kakek dan nenek berdua di kota ini dengan alasan ingin mencari pekerjaan, tetapi mereka tidak pernah kembali untuk mengunjungi kakek dan nenek disini. Dalam hati aku mengutuki anak-anak duharka itu. Bagaimana bisa kehangatan yang merekah di antara kakek dan nenek mereka tinggalkan untuk kehidupan yang belum tentu terdapat kehangatan di dalamnya.

Hari sudah semakin malam, aku berpamitan untuk pulang kepada kakek dan nenek. Aku janji aku akan datang kembali ke rumah ini. Aku tidak langsung pulang ke hotel, aku masih ingin menikmati keindahan malam di kota ini. Aku mendatangi salah satu kafe yang buka 24 jam, tetapi tiba-tiba ketenangan itu hilang. Ada lelaki yang sangat mengesalkan yang berebut tempat denganku. Bukankan masih banyak tempat kosong di kafe ini? Mengapa dia harus meributkan tempat yang aku pilih. Tempat yang tepat berada di bawah pohon dengan dihiasi lampu redup berwarna oranye. Aku mengutuki lelaki yang merusak mood ku ini dalam hati. Lalu aku langsung bergegas meninggalkan kafe itu tanpa sepatah katapun untuk kembali ke hotel.

Siang ini aku sengaja menyewa mobil untuk mengantarku mengunjungi salah satu pantai di Gunung Kidul. Pantai yang sangat aku sukai dibanding pantai-pantai lain di deretannya. Pantai yang belum banyak terjamah oleh manusia. Bahkan untuk sampai kesana tidak ada palang penunjuk arahnya. Jalanannya hanya setapak yang memuat satu mobil. Pantai dengan pasir putih yang masih sangat bersih, batu karang yang mengaggumkan dengan berbagai binatang laut dibaliknya – Sadranan. Tetapi satu yang tidak aku sukai dari tempat ini, terlalu banyak anjing liar yang berkeliaran disini. Aku maju menapaki karang-karang yang tersusun kokoh disini menampakan keindahannya. Sampai akhirnya telingaku mendengar suara lelaki yang entah apakan ucapannya di tujukan kepadaku atau kepada orang lain yang berada disini, tetapi setauku tadi hanya ada aku sendiri disini. Diam-diam aku mendengarkan setiap perkataannya tanpa menoleh sedikitpun. Perkataan yang sangat menusuk di hati. Bagaimana dia tau kalau aku terdampar jauh ke kota ini untuk menghindari setiap masalahku. Atau… tidak-tidak mungkin dia memang bukan bicara kepadaku. Sampai akhirnya aku tau kata-kata itu memang dia tujukan kepada aku saat dia tepat berdiri disampingku.

Tuhan tidak mungkin, mengapa engkau mempertemukanku dengan lelaki menyebalkan ini? Lelaki yang semalam meributkan tempatku di kafe itu… Tuhan aku tidak ingin merusak sore indahku di tempat favoritku ini. Tetapi mengapa ada ketengangan ketika lelaki ini berada di sampingku, seperti ada jaminan rasa aman yang dia tawarkan, padahal aku baru dua kali bertemu dengan lelaki menyebalkan dan sok au ini. Tuhan, inikah maksud dari janjimu bahwa kau akan selalu memberikan yang terbaik nantinya. Lelaki ini kah yang Engkau kirim untukku? Untuk melindungiku? Aaah pikiran apa sih ini. Tidak mungkin, aku masih sangat mencintai lelaki yang telah menghancurkanku.

Sepanjang perjalanan pulang ke hotel pikiranku bertengkar dengan hatiku. Bagaimana bisa hatiku merasa nyaman dengan lelaki yang menyebalkan dan sok tau seperti dia. Pikiranku tidak bisa menerima itu, ini terlalu bodoh. Hatiku terlalu bodoh kalau ternyata terbukti benar bahwa hatiku telah jatuh ke lelaki lain. Bukankan hatiku masih milik lelaki yang tega menghancurkannya itu? Bukankah hatiku masih terluka terlalu dalam? Tuhan… mengapa hatiku berdetak begitu aneh setiap membahas tentang lelaki menyebalkan dan sok tau itu…

Pagi ini aku pergi ke kafe 24 jam yang tempo lalu aku tinggalkan begitu saja karena lelaki menjengkelkan yang meributkan tempat dudukku itu. Kali ini aku berhasil duduk di tempat yang tempo lalu aku tempati. Tenang tanpa lelaki itu… tapi tidak lama kemudian, ada lelaki yang menghampiri dan meminta ijin untuk duduk bersamaku di tempat ini. Tuhan…. Mengapa harus lelaki ini lagi? Lelaki menyebalkan ini Tuhan? Apa tidak ada lagi lelaki yang lebih mengasyikan selain dia Tuhan?
Hari demi hari berlalu, herannya aku semakin dekat dengan lelaki yang sempat aku kutuki dalam hati itu. Lelaki menyebalkan yang sangat aku benci. Tapi logikaku tidak bisa mengelak lagi, hatiku memang mulai jatuh kepada lelaki ini. Aku mendatangi setiap sudut kota ini bersamanya. Bahkan lelaki menyebalkan ini yang membawa aku ke sanggar ini, sanggar tari tradisional. Tuhan, ini hobby ku… ini tujuan hidupku yang sebenarnya. Menari… melepas semua beban. Inikah jalan yang kau beri untukku, Tuhan?

Setiap hari aku datang ke sanggar ini untuk melepas bebanku, ya, menari adalah salah satu kebahagiaanku. Aku bercita-cita untuk menjadi penari tradisional professional yang bisa keliling dunia membawa tarian-tarian Indonesia dan nantinya bisa membuat sanggar sendiri. Tetapi, tidak ada yang mengerti akan cita-citaku. Tidak juga kedua orang tuaku. Tetapi lelaki menyebalkan ini sangat mendukung cita-citaku ini. Dia mengerti. Dia memberi kehangatan yang aku cari di kota ini.

2 bulan aku berada di kota ini sampai akhirnya aku memutuskan untuk menetap di kota ini dan meninggalkan segala aktifitas yang menyiksaku selama ini dan juga meninggalkan kepalsuan yang ada. Tentu saja aku juga sudah melupakan kesakitan yang aku rasa karena lelaki yang tega menghancurkanku berkali-kali.

Memang benar, terkadang kita harus meninggalkan segala kekhawatiran dan mulai menikmati apa yang ada saat ini agar hidup lebih bahagia. Untuk apa aku selalu mengingat setiap kesakitan dan kebencian yang ada, hanya akan membuat aku terjebak dengan luka. Sudah saatnya aku memaafkan, bukankan untuk memaafkan harus ada yang direlakan? Dan aku merelakan kesakitan yg aku rasa dan mulai berdamai dengan keadaa. Sekarang aku percaya, Tuhan memang membiarkan kita terluka untuk mendapatkan yang lebih baik. Setiap perpisahan pasti akan menghadirkan pertemuan. Bukankah dalam hidup kita harus belajar merelakan agar kita bisa melangkah maju?

Kehadiran seseorang di hidup kita pasti memiliki arti. Dia untuk menguatkanku dengan segala kesakitan yang diberikannya dahulu, dan kamu untuk menjadi alasan bagi setiap senyumanku untuk semua kehangatan yang kamu beri saat ini. Tuhan mempertemukanku denganmu bukan tanpa alasan, Tuhan tau kebutuhanku… Kamu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar