Pagi ini aku
meninggalkan kota kelahiranku dengan membawa
semua luka yang ada selama aku berada di kota
ini. Aku duduk sendiri di bangku kereta untuk menuju daerah istimewa
yogyakarta. Perjalananku kali ini bukan untuk mengunjungi eyang kakung dan
eyang putri disana. Bahkan aku tidak ada rencana sama sekali untuk mengunjungi
mereka. Aku hanya ingin melupakan semua kesakitan yang aku rasa. Aku ingin
mencari kenyamanan yang telah lama menghilang dari hidupku. Aku ingin menemukan
kehangatan keluarga dan hangatnya dekapan yang diciptakan oleh sebuah cinta.
Aku menapaki
stasiun Tugu pada sore hari. Sore yang indah dengan langit yang menampakan kecantikan
senjanya sedikit demi sedikit. Awal yang indah, mendamaikan. Tapi apakah
mungkin aku bisa merasakan kedamaian yang lainnya selama aku berada disini? Entahlah,
biar takdir yang menentukan semuanya, bahkan takdir pula yang membawa aku ke tempat sejauh ini. Tempat yang selalu aku
harapkan membawa kedamaian. Ya… setidaknya membuatku melupakan semua kesakitan
yang ada.
Sebentar menikmati
senja dengan latar peron-peron dan gerbong kereta api aku langsung bergegas
menuju salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari stasiun terbesar kota ini untuk
beristirahat sebentar.
Malam ini, malam
pertama aku berada di kota
ini. Kota yang
penuh akan keramaian yang tidak pernah meninggalkan cirri khas keramahannya. Aku
menapakkan kakiku di kilometer 0 yogyakarta yang terletak di daerah
perbelanjaan Malioboro dan tidak jauh dari alun-alun kota
Yogyakarta . Aku duduk sendiri memperhatikan
setiap aktifitas perkumpulan komunitas-komunitas yang ada di kota ini. Mereka tertawa, menjalankan hobby
nya dengan tawa. Ya… mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan aku? Aku
masih harus terjebak dalam kegiatan yang tidak pernah aku sukai, tetapi bukan
berarti aku melakukannya tanpa senyum. Aku selalu mengulum seutas senyum dalam
melakukan semua kegiatanku selama ini. Kegiatan yang sudah 2 tahun lebih aku
jalani. Bahkan aku selalu mengulum seutas senyum kepada semua orang yang aku
temui walau keadaan hatiku tidak dalam keadaan yang membuatku nyaman. Ya, walau
hanya seutas senyum palsu setidaknya mereka percaya bahwa hidupku baik-baik
saja, hari-hariku menyenangkan, kisah percintaanku selalu membahagiakan bahkan
keadaan keluargaku yang sangat hangat. Ya… mereka percaya akan seutas senyum
itu. Senyum yang selalu menggores luka dihati.
Andai saja aku
bisa bebas… bebas dari semua masalah yang ada… keluargaku mulai menampakann
kehancurannya sejak sekitar 7 tahun yang lalu. Keluarga ini tidak lagi
menampakkan kehangatan. Bahkan aku tidak pernah lagi betah untuk berlama-lama
di rumah jika anggota keluargaku sedang berkumpul. Aku muak melihat
kepura-puraan dianatara kedua orang tuaku. Berpura-pura untuk terlihat
baik-baik saja namun selalu ada amarah dan air mata di dalamanya. Aku terkadang
ingin lari jauh… sejauh-jauhnya dari keluargaku, meninggalkan semua kepalsuan
yang ada, meninggalkan luka yang semakin lama semakin dalam. Terkadang aku
berfikir, tidakkah sebaiknya mereka berpisah agar tidak ada lagi kepalsuan yang
menyakitkan ini? Aku sakit, hatiku tergores dalam…
Tuhan… aku tau,
manusia memang tidak pernah bisa meminta bagaimana dia terlahir, dengan cara
apa dia tumbuh dan dikeluarga seperti apa dia hidup. Tapi mengapa engkau tidak
memberikanku keluarga yang penuh dengan kehangatan? Bukan keluarga yang selalu
penuh akan kepalsuan itu Tuhan. Mengapa aku tidak bisa tertawa bahagia seperti
anak-anak yang ada di komunitas itu? Mengapa aku harus mengalami kehidupan
seberat ini Tuhan…. Aku ingin tertawa bahagia disetiap langkahku. Setidaknya aku
tidak ingin selalu memberikan senyum palsu ke semua orang yang aku temui.
Tiba-tiba
lamunanku tersadarkan akan suara bising yang berasal dari pemain gamelan yang
berada tidak jauh di sebrang tempat aku duduk saat ini. Inilah yang aku suka
dari malioboro. Ramai, penuh seni… hangat… sumpah demi apapun, aku sangat
mencintai kota
ini Tuhan…
Pagi ini aku
tidak memiliki banyak semangat untuk menjelajahi kota ini. Entah… aku biasanya seperti
memiliki suntikan semangat yang tinggi untuk menjelajahi sudut-sudut kota ini setiap aku menapakkan kaki ku di Yogyakarta . Setelah sarapan aku hanya berenang sebentar di
kolam renang yang memang disediakan di hotel yang lumayan besar ini, lalu aku
kembali kekamar untuk beristirahat kembali. Tidak. Aku tidak beristirahat, aku
hanya ingin menghilang dari keramaian pagi ini. Aku merindukannya, merindukan
dia yang telah menghancurkan hatiku untuk kesekian kalinya. Orang yang membuat
aku meninggalkan Jakarta ,
meninggalkan semua kenangan indah dan juga menyakitkan disana.
Aku menjalin
hubungan dengannya beberapa bulan sebelum kami memasuki tahun ke dua. Jadi wajar
saja jika aku masih memiliki cinta yang begitu besar terhadapnya, lelaki itu
yang membuat hidupku sedikit berwarna selama ini, lelaki itu yang membuatku
melupakan setiap masalahku sejenak, walau dia tidak pernah memberikan aku waktu
untuk menceritakan setiap masalah yang aku hadapi, tapi setidaknya dia sesekali
menjadi alasanku untuk tersenyum… senyum yang tulus. Tetapi itu dulu, sebelum
akhirnya dia menghancurkan hatiku berkali-kali sampai akhirnya aku benar-benar
menyerah dan memilih menyingkir ke kota
ini saat ini.
Tuhan memberi
kita luka pasti Tuhan juga akan memberikan penawar luka itu. Tuhan memberikan
aku keluarga yang jauh dari kehangatan, tapi Tuhan memberikan dia ke hidupku
untuk menawarkan kehangatan yang tidak aku miliki. Tuhan memang adil, ya, terkadang…
sampai akhirnya aku kembali merasa bahwa Tuhan merenggut kebahagiaan kecil yang
ku miliki dan menggantinya dengan setumpuk luka yang mendalam. Kehancuran yang
tidak henti-hentinya. Aku membenamkan wajahku di bantal dan mulai kembali
menangisi keadaanku yang teramat malang .
Tidak, harusnya aku tidak menyalahkan Tuhan akan semua yang terjadi. Bukankan Tuhan
selalu memberi yang terbaik untuk setiap umatnya? Aku segera menghapus air mata
yang masih tersisa di pipiku. Hey, bukankah aku jauh sampai kota ini untuk melupakan semua kesakitan yang
aku rasa? Bukankah harusnya aku bersenang-senang di kota ini?
Waktu memasuki
jam makan siang, aku segera bergegas ke salah satu tempat makan yang lumayan
terkenal di kota
ini, tempat ini adalah salah satu cabang dari tempat makan sederhana yang hanya
menjajakan sop ayam dengan berbagai sate dan gorengan, tetapi begitu nikmat. Siang
ini aku tidak makan sendirian, aku makan ditemani oleh sepasang kakek-nenek
pemulung yang aku temui saat perjalanan menuju tempat ini. Wajah mereka
mendamaikan, entahlah terlihat penuh cinta dan kasih.
Selesai menyantap
makan siang aku mengunjungi rumah kakek-nenek ini, rumah yang sederhana, bahkan
begitu sempit bagi mereka berdua tetapi terasa penuh kehangatan, tidak seperti
rumahku yang cukup besar tapi tidak ada kehangatan didalamnya. Aku medapatkan
kehangatan di kota
ini melalui mereka. Mereka memperlakukan aku seperti cucunya sendiri. Anak-anak
kakek dan nenek meninggalkan kakek dan nenek berdua di kota ini dengan alasan ingin mencari
pekerjaan, tetapi mereka tidak pernah kembali untuk mengunjungi kakek dan nenek
disini. Dalam hati aku mengutuki anak-anak duharka itu. Bagaimana bisa
kehangatan yang merekah di antara kakek dan nenek mereka tinggalkan untuk
kehidupan yang belum tentu terdapat kehangatan di dalamnya.
Hari sudah
semakin malam, aku berpamitan untuk pulang kepada kakek dan nenek. Aku janji
aku akan datang kembali ke rumah ini. Aku tidak langsung pulang ke hotel, aku
masih ingin menikmati keindahan malam di kota
ini. Aku mendatangi salah satu kafe yang buka 24 jam, tetapi tiba-tiba
ketenangan itu hilang. Ada
lelaki yang sangat mengesalkan yang berebut tempat denganku. Bukankan masih
banyak tempat kosong di kafe ini? Mengapa dia harus meributkan tempat yang aku
pilih. Tempat yang tepat berada di bawah pohon dengan dihiasi lampu redup
berwarna oranye. Aku mengutuki lelaki yang merusak mood ku ini dalam hati. Lalu
aku langsung bergegas meninggalkan kafe itu tanpa sepatah katapun untuk kembali
ke hotel.
Siang ini aku
sengaja menyewa mobil untuk mengantarku mengunjungi salah satu pantai di Gunung
Kidul. Pantai yang sangat aku sukai dibanding pantai-pantai lain di deretannya.
Pantai yang belum banyak terjamah oleh manusia. Bahkan untuk sampai kesana
tidak ada palang penunjuk arahnya. Jalanannya hanya setapak yang memuat satu
mobil. Pantai dengan pasir putih yang masih sangat bersih, batu karang yang
mengaggumkan dengan berbagai binatang laut dibaliknya – Sadranan. Tetapi satu
yang tidak aku sukai dari tempat ini, terlalu banyak anjing liar yang
berkeliaran disini. Aku maju menapaki karang-karang yang tersusun kokoh disini
menampakan keindahannya. Sampai akhirnya telingaku mendengar suara lelaki yang
entah apakan ucapannya di tujukan kepadaku atau kepada orang lain yang berada
disini, tetapi setauku tadi hanya ada aku sendiri disini. Diam-diam aku
mendengarkan setiap perkataannya tanpa menoleh sedikitpun. Perkataan yang
sangat menusuk di hati. Bagaimana dia tau kalau aku terdampar jauh ke kota ini untuk
menghindari setiap masalahku. Atau… tidak-tidak mungkin dia memang bukan bicara
kepadaku. Sampai akhirnya aku tau kata-kata itu memang dia tujukan kepada aku
saat dia tepat berdiri disampingku.
Tuhan tidak
mungkin, mengapa engkau mempertemukanku dengan lelaki menyebalkan ini? Lelaki yang
semalam meributkan tempatku di kafe itu… Tuhan aku tidak ingin merusak sore
indahku di tempat favoritku ini. Tetapi mengapa ada ketengangan ketika lelaki
ini berada di sampingku, seperti ada jaminan rasa aman yang dia tawarkan,
padahal aku baru dua kali bertemu dengan lelaki menyebalkan dan sok au ini. Tuhan,
inikah maksud dari janjimu bahwa kau akan selalu memberikan yang terbaik
nantinya. Lelaki ini kah yang Engkau kirim untukku? Untuk melindungiku? Aaah pikiran
apa sih ini. Tidak mungkin, aku masih sangat mencintai lelaki yang telah
menghancurkanku.
Sepanjang perjalanan
pulang ke hotel pikiranku bertengkar dengan hatiku. Bagaimana bisa hatiku
merasa nyaman dengan lelaki yang menyebalkan dan sok tau seperti dia. Pikiranku
tidak bisa menerima itu, ini terlalu bodoh. Hatiku terlalu bodoh kalau ternyata
terbukti benar bahwa hatiku telah jatuh ke lelaki lain. Bukankan hatiku masih
milik lelaki yang tega menghancurkannya itu? Bukankah hatiku masih terluka
terlalu dalam? Tuhan… mengapa hatiku berdetak begitu aneh setiap membahas
tentang lelaki menyebalkan dan sok tau itu…
Pagi ini aku
pergi ke kafe 24 jam yang tempo lalu aku tinggalkan begitu saja karena lelaki
menjengkelkan yang meributkan tempat dudukku itu. Kali ini aku berhasil duduk
di tempat yang tempo lalu aku tempati. Tenang tanpa lelaki itu… tapi tidak lama
kemudian, ada lelaki yang menghampiri dan meminta ijin untuk duduk bersamaku di
tempat ini. Tuhan…. Mengapa harus lelaki ini lagi? Lelaki menyebalkan ini
Tuhan? Apa tidak ada lagi lelaki yang lebih mengasyikan selain dia Tuhan?
Hari demi hari
berlalu, herannya aku semakin dekat dengan lelaki yang sempat aku kutuki dalam
hati itu. Lelaki menyebalkan yang sangat aku benci. Tapi logikaku tidak bisa
mengelak lagi, hatiku memang mulai jatuh kepada lelaki ini. Aku mendatangi
setiap sudut kota
ini bersamanya. Bahkan lelaki menyebalkan ini yang membawa aku ke sanggar ini,
sanggar tari tradisional. Tuhan, ini hobby ku… ini tujuan hidupku yang
sebenarnya. Menari… melepas semua beban. Inikah jalan yang kau beri untukku,
Tuhan?
Setiap hari aku
datang ke sanggar ini untuk melepas bebanku, ya, menari adalah salah satu
kebahagiaanku. Aku bercita-cita untuk menjadi penari tradisional professional yang
bisa keliling dunia membawa tarian-tarian Indonesia dan nantinya bisa membuat
sanggar sendiri. Tetapi, tidak ada yang mengerti akan cita-citaku. Tidak juga
kedua orang tuaku. Tetapi lelaki menyebalkan ini sangat mendukung cita-citaku
ini. Dia mengerti. Dia memberi kehangatan yang aku cari di kota ini.
2 bulan aku
berada di kota ini sampai akhirnya aku
memutuskan untuk menetap di kota
ini dan meninggalkan segala aktifitas yang menyiksaku selama ini dan juga
meninggalkan kepalsuan yang ada. Tentu saja aku juga sudah melupakan kesakitan
yang aku rasa karena lelaki yang tega menghancurkanku berkali-kali.
Memang benar,
terkadang kita harus meninggalkan segala kekhawatiran dan mulai menikmati apa
yang ada saat ini agar hidup lebih bahagia. Untuk apa aku selalu mengingat
setiap kesakitan dan kebencian yang ada, hanya akan membuat aku terjebak dengan
luka. Sudah saatnya aku memaafkan, bukankan untuk memaafkan harus ada yang direlakan? Dan aku merelakan kesakitan yg aku rasa dan mulai berdamai dengan keadaa. Sekarang aku percaya, Tuhan memang membiarkan kita terluka untuk
mendapatkan yang lebih baik. Setiap perpisahan pasti akan menghadirkan
pertemuan. Bukankah dalam hidup kita harus belajar merelakan agar kita bisa
melangkah maju?
Kehadiran seseorang
di hidup kita pasti memiliki arti. Dia untuk menguatkanku dengan segala
kesakitan yang diberikannya dahulu, dan kamu untuk menjadi alasan bagi setiap
senyumanku untuk semua kehangatan yang kamu beri saat ini. Tuhan mempertemukanku
denganmu bukan tanpa alasan, Tuhan tau kebutuhanku… Kamu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar