Saat pertama
kali tatapan mata kita bertemu pada satu titik, aku tidak pernah mengira bahwa
tatapan itu dapat membuatku jatuh mencintaimu terlalu dalam. Jatuh tersungkur
terlalu jauh saat kau kecewakan. Bahkan tatapan itu pula yang membuatku
berkali-kali memberikan maaf atas semua kesakitan yang kamu beri untukku.
Tatapan itu
awalnya mendamaikan… sangat mendamaikan… begitu pula perlakuanmu kepadaku,
damai seperti daun yang berubah warna memerah kecoklatan yang berguguran
dimusim semi. Tetapi waktu mengubah semuanya. Tatapan itu tidak lagi
mendamaikan, terlebih menyakitkan, seperti ujung mata pisau, semakin aku lama
berada diujungnya, semakin dalam luka yang kamu berikan. Bagaimana tidak
tatapan itu tidak menyakitkan, tatapan itu yang membuat aku selalu memaafkan
setiap kesalahanmu yang berujung pada kesakitan-kesakitan lain yang aku terima.
Hidupku aku
serahkan begitu saja kepadamu, begitu pula hatiku. Seperti menyerahkannya
kepada seorang penipu ulung yang sedang ingin memangsa para korbannya. Bahagia di
awal, dihempaskan di akhir. Tapi memang tatapan itu yang membuat aku terus bertahan,
tatapan itu yang membuat aku menghiraukan rasa sakit yang aku rasa. Tatapan yang
membuatku selalu menerimamu kembali ke hidupku. Tatapan itu pula yang membuat
aku menutup mata akan kebahagiaan yang harusnya aku dapatkan, bukan kesakitan
yang selama ini terjadi dan terjadi lagi berulang-ulang tanpa pernah lelah.
Lalu jika saat
ini kamu meminta kembali dan perlahan-lahan aku menerima kamu untuk kembali
tapi kamu kembali menyakitiku, hati dan juga bahkan fisikku. Siapa yang harus
aku salahkan? Yaa… memang bukan kamu, bukan wanita-wanita itu dan bukan juga
perbuatanmu. Tapi diriku sendiri, hatiku. Aku terlalu lemah untuk
membelakangimu, mengabaikanmu. Aku terlalu lemah akan permintaan maafmu. Aku terlalu
jatuh mencintaimu. Aku terlalu mempercayai perkataanmu saat meyakinkanku bahwa
semua akan lebih baik jika kamu kembali. Aku menutup mataku bahwa selama ini
selalu akan seperti itu. Membaik sebentar dan kamu hancurkan kemudian… hancur
terlalu dalam... Mungkin sudah saatnya aku membuka mata. Semua tidak akan
pernah bisa membaik. Kamu juga mungkin sudah seharusnya menyadari bahwa semua
yang kamu anggap baik untuk kamu lakukan tidak selamanya baik untukku, tidak
selamanya membahagiakanku.
Jangan kembali,
kita memang punya satu tujuan, dahulu. Tapi sayang cara kita memang tidak lagi
pernah sejalan. Tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang memang sudah tidak
akan pernah bisa kembali sempurna. Ini hanya akan menyakiti kita, menyakiti aku,
menyakiti kamu. Bukankah hidup harus selalu kita nikmati disetiap detailnya? Tapi
apa yang bisa kita nikmati dari sebuah luka? Apa yang harus aku nikmati dari
setiap luka, kekecewaan, kesakitan dan keegoisan? Bahagiakanlah diri kita,
meski tidak harus bersama-sama lagi. Mimpiku masih sama seperti saat aku
bersamamu. Tapi mungkin saat ini aku harus menggapainya sendiri, tanpamu. Tanpa
luka…
inilah cinta... membahagiakan tetapi tak jarang menyakitkan... begitu menyakitkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar